Bisnis Toko Online 468x60

Kisah Sangkuriang

Sangkuriang menendang sampan besar yang telah dibuatnya. Sampan itu melayang dan jatuh tertelungkup, lalu menjadi sebuah gunung yang bernama Tangkuban Perahu.

Timun Mas

Ia pun melemparkan senjatanya yang terakhir, segenggam terasi udang. Lagi-lagi terjadi keajaiban. Sebuah danau lumpur yang luas terhampar. Raksasa terjerembab ke dalamnya. Tangannya hampir menggapai Timun Mas. Tapi danau lumpur itu menariknya ke dasar. Raksasa panik. Ia tak bisa bernapas, lalu tenggelam.

Cindelaras

Dua ekor ayam itu bertarung dengan gagah berani. Tetapi dalam waktu singkat, ayam Cindelaras berhasil menaklukkan ayam sang Raja. Para penonton bersorak sorai mengelu-elukan Cindelaras dan ayamnya.

Si Kelingking

Kelingking pun merasa senang melihat istrinya bahagia karena mempunyai suami yang gagah dan tampan. Akhirnya, mereka pun hidup bahagia. Si Kelingking memimpin negerinya dengan arif dan bijaksana, dan rakyatnya hidup damai dan sejahtera.

Danau Toba

Setelah petani mengucapkan kata-kata tersebut, seketika itu juga anak dan istrinya hilang lenyap tanpa bekas dan jejak. Dari bekas injakan kakinya, tiba-tiba menyemburlah air yang sangat deras.

Tuesday, December 29, 2015

Manik Angkeran

Pada jaman dulu di kerajaan Daha hiduplah seorang Brahmana yang benama Sidi Mantra yang sangat terkenal kesaktiannya. Sanghyang Widya atau Batara Guru menghadiahinya harta benda dan seorang istri yang cantik. Sesudah bertahun-tahun kawin, mereka mendapat seorang anak yang mereka namai Manik Angkeran.
Meskipun Manik Angkeran seorang pemuda yang gagah dan pandai namun dia mempunyai sifat yang kurang baik, yaitu suka berjudi. Dia sering kalah sehingga dia terpaksa mempertaruhkan harta kekayaan orang tuanya, malahan berhutang pada orang lain. Karena tidak dapat membayar hutang, Manik Angkeran meminta bantuan ayahnya untuk berbuat sesuatu. Sidi Mantra berpuasa dan berdoa untuk memohon pertolongan dewa-dewa. Tiba-tiba dia mendengar suara, “Hai, Sidi Mantra, di kawah Gunung Agung ada harta karun yang dijaga seekor naga yang bernarna Naga Besukih. Pergilah ke sana dan mintalah supaya dia mau mernberi sedikit hartanya.”
Sidi Mantra pergi ke Gunung Agung dengan mengatasi segala rintangan. Sesampainya di tepi kawah Gunung Agung, dia duduk bersila. Sambil membunyikan genta dia membaca mantra dan memanggil nama Naga Besukih. Tidak lama kernudian sang Naga keluar. Setelah mendengar maksud kedatangan Sidi Mantra, Naga Besukih menggeliat dan dari sisiknya keluar emas dan intan. Setelah mengucapkan terima kasih, Sidi Mantra mohon diri. Semua harta benda yang didapatnya diberikan kepada Manik Angkeran dengan harapan dia tidak akan berjudi lagi. Tentu saja tidak lama  kemudian, harta itu habis untuk taruhan. Manik Angkeran sekali lagi minta bantuan ayahnya. Tentu saja Sidi Mantra menolak untuk membantu anakya.
Manik Angkeran mendengar dari temannya bahwa harta itu didapat dari Gunung Agung. Manik Angkeran tahu untuk sampai ke sana dia harus membaca mantra tetapi dia tidak pernah belajar mengenai doa dan mantra. Jadi, dia hanya membawa genta yang dicuri dari ayahnya waktu ayahnya tidur.
Setelah sampai di kawah Gunung Agung, Manik Angkeran membunyikan gentanya. Bukan main takutnya ia waktu ia melihat Naga Besukih. Setelah Naga mendengar maksud kedatangan Manik Angkeran, dia berkata, “Akan kuberikan harta yang kau minta, tetapi kamu harus berjanji untuk mengubah kelakuanmu. Jangan berjudi lagi. Ingatlah akan hukum karma.”
Manik Angkeran terpesona melihat emas, intan, dan permata di hadapannya. Tiba-tiba ada niat jahat yang timbul dalam hatinya. Karena ingin mendapat harta lebih banyak, dengan secepat kilat dipotongnya ekor Naga Besukih ketika Naga beputar kembali ke sarangnya. Manik Angkeran segera melarikan diri dan tidak terkejar oleh Naga. Tetapi karena kesaktian Naga itu, Manik Angkeran terbakar menjadi abu sewaktu jejaknya dijilat sang Naga.
Mendengar kernatian anaknya, kesedihan hati Sidi Mantra tidak terkatakan. Segera dia mengunjungi Naga Besukih dan memohon supaya anaknya dihidupkan kembali. Naga menyanggupinya asal ekornya dapat kembali seperti sediakala. Dengan kesaktiannya, Sidi Mantra dapat memulihkan ekor Naga. Setelah Manik Angkeran dihidupkan, dia minta maaf dan berjanji akan menjadi orang baik. Sidi Mantra tahu bahwa anaknya sudah bertobat tetapi dia juga mengerti bahwa mereka tidak lagi dapat hidup bersama.
“Kamu harus mulai hidup baru tetapi tidak di sini,” katanya. Dalam sekejap mata dia lenyap. Di tempat dia berdiri timbul sebuah sumber air yang makin lama makin besar sehingga menjadi laut. Dengan tongkatnya, Sidi Mantra membuat garis yang mernisahkan dia dengan anaknya. Sekarang tempat itu  menjadi selat Bali yang memisahkan pulau Jawa dengan pulau Bali.

Monday, December 28, 2015

Jayaprana dan Layonsari

 Dua orang suami istri bertempat tinggal di Desa Kalianget mempunyai tiga orang anak, dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Oleh karena ada wabah yang menimpa masyarakat desa itu, maka empat orang dari keluarga yang miskin ini meninggal dunia bersamaan. Tinggalan seorang laki-laki yang paling bungsu bernama I Jayaprana. Oleh karena orang yang terakhir ini keadaannya yatim piatu, maka ia pun memberanikan diri mengabdi di istana raja. Di istana, laki-laki itu sangat rajin, rajapun amat kasih sayang kepadanya.

Kini I Jayaprana baru berusia duabelas tahun. Ia sangat ganteng paras muka tampan dan senyumnya pun sangat manis menarik.

Pada suatu hari beberapa tahun kemudian raja menitahkan I Jayaprana, supaya memilih seorang dayang-dayang yang ada di dalam istana atau gadis gadis yang ada di luar istana. Mula-mula I Jayaprana menolak titah baginda, dengan alasan bahwa dirinya masih kanak-kanak. Tetapi karena dipaksa oleh raja akhirnya I Jayaprana menurutinya. Ia pun melancong ke pasar yang ada di depan istana hendak melihat-lihat gadis yang lalu lalang pergi ke pasar. Tiba-tiba ia melihat seorang gadis yang sangat cantik jelita. Gadis itu bernama Ni Layonsari, putra Jero Bendesa, berasal dari Banjar Sekar.

Melihat gadis yang elok itu, I Jayaprana sangat terpikat hatinya dan pandangan matanya terus membuntuti lenggang gadis itu ke pasar, sebaliknya Ni Layonsari pun sangat gundah hatinya tatkala memandang pemuda tampan yang sedang duduk-duduk di depan istana. Setelah gadis itu menyelinap di balik orang-orang yang ada di dalam pasar, maka I Jayaprana cepat-cepat kembali ke istana hendak melapor kehadapan Sri Baginda Raja. Laporan I Jayaprana diterima oleh baginda dan kemudian raja menulis sepucuk surat.

I Jayaprana dititahkan membawa sepucuk surat ke rumahnya Jero Bendesa. Tak lama kemudian  I Jayaprana tiba di rumahnya Jero Bendesa. Ia menyerahkan surat yang dibawanya itu kepada Jero Bendesa dengan hormatnya. Jero Bendesa menerima terus langsung dibacanya dalam hati. Jero Bendesa sangat setuju apabila putrinya yaitu Ni Layonsari dikawinkan dengan I Jayaprana. Setelah ia menyampaikan isi hatinya “setuju” kepada I Jayaprana, lalu I Jayaprana memohon diri pulang kembali.

Di istana Raja sedang mengadakan sidang di pendopo. Tiba-tiba datanglah I Jayaprana menghadap untuk menyampaikan pesan Jero Bendesa kehadapan Sri Baginda Raja. Kemudian Raja mengumumkan pada sidang yang isinya antara lain: Bahwa nanti pada hari Selasa Legi wuku Kuningan, raja akan membuat upacara perkawinannya I Jayaprana dengan Ni Layonsari. Dari itu raja memerintahkan kepada segenap perbekel, supaya mulai mendirikan bangunan-bangunan rumah, balai-balai selengkapnya untuk I Jayaprana.

Menjelang hari perkawinannya semua bangunan-bangunan sudah selesai dikerjakan dengan secara gotong royong semuanya serba indah. Kini tiba hari upacara perkawinan I Jayaprana diiringi oleh masyarakat desanya, pergi ke rumahnya Jero Bendesa, hendak memohon Ni Layonsari dengan alat upacara selengkapnya. Sri Baginda Raja sedang duduk di atas singgasana dihadap oleh para punggawa kerajaan dan para perbekel baginda. Kemudian datanglah rombongan I Jayaprana di depan istana. Kedua mempelai itu harus turun dari atas joli, terus langsung menyembah kehadapan Sri Baginda Raja dengan hormatnya. Ketika melihat wajah Ni Layonsari, raja pun membisu tak dapat berkata-kata.

Setelah senja kedua mempelai itu lalu memohon diri akan kembali ke rumahnya meninggalkan sidang di paseban. Sepeninggal mereka itu, Sri Baginda lalu bersabda kepada para perbekel semuanya untuk meminta pertimbangan caranya memperdayakan I Jayaprana supaya ia mati. Istrinya yaitu Ni Layonsari supaya masuk ke istana dijadikan permaisuri baginda. Dikatakan apabila Ni Layonsari tidak dapat diperistri maka baginda akan mangkat karena kesedihan.

Mendengar sabda itu salah seorang perbekel lalu tampak ke depan hendak mengetengahkan pertimbangan, yang isinya antara lain: agar Sri Paduka Raja menitahkan I Jayaprana bersama rombongan pergi ke Celuk Terima, untuk menyelidiki perahu yang hancur dan orang-orang Bajo menembak binatang yang ada di kawasan pengulan. Demikian isi pertimbangan salah seorang perbekel yang bernama I Saunggaling, yang telah disepakati oleh Sang Raja. Sekarang tersebutlah I Jayaprana yang sangat brebahagia hidupnya bersama istrinya. Tetapi baru tujuh hari lamanya mereka berbulan madu, datanglah seorang utusan raja ke rumahnya, yang maksudnya memanggil I Jayaprana supaya menghadap ke paseban. I Jayaprana segera pergi ke paseban menghadap Sri P aduka Raja bersama perbekel sekalian. Di paseban mereka dititahkan supaya besok pagi-pagi ke Celuk Terima untuk menyelidiki adanya perahu kandas dan kekacauan-kekacauan lainnya. Setelah senja, sidang pun bubar. I Jayaprana pulang kembali ia disambut oleh istrinya yang sangat dicintainya itu. I Jayaprana menerangkan hasil-hasil rapat di paseban kepada istrinya.

Hari sudah malam Ni Layonsari bermimpi, rumahnya dihanyutkan banjir besar, ia pun bangkit dari tempat tidurnya seraya menerangkan isi impiannya yang sangat mengerikan itu kepada I Jayaprana. Ia meminta agar keberangkatannya besok dibatalkan berdasarkan alamat-alamat impiannya. Tetapi I Jayaprana tidak berani menolak perintah raja. Dikatakan bahwa kematian itu terletak di tangan Tuhan Yang Maha Esa. Pagi-pagi I Jayaprana bersama rombongan berangkat ke Celuk Terima, meninggalkan Ni Layonsari di rumahnya dalam kesedihan. Dalam perjalanan rombongan itu, I Jayaprana sering kali mendapat alamat yang buruk-buruk. Akhirnya mereka tiba di hutan Celuk Terima. I Jayaprana sudah meras dirinya akan dibinasakan kemudian I Saunggaling berkata kepada I Jayaprana sambil menyerahkan sepucuk surat. I Jayaprana menerima surat itu terus langsung dibaca dalam hati isinya:

“ Hai engkau Jayaprana

Manusia tiada berguna

Berjalan berjalanlah engkau

Akulah menyuruh membunuh kau

Dosamu sangat besar

Kau melampaui tingkah raja

Istrimu sungguh milik orang besar

Kuambil kujadikan istri raja

Serahkanlah jiwamu sekarang

Jangan engkau melawan

Layonsari jangan kau kenang

Kuperistri hingga akhir jaman.”

Demikianlah isi surat Sri Baginda Raja kepada I Jayaprana. Setelah I Jayaprana membaca surat itu lalu ia pun menangis tersedu-sedu sambil meratap. “Yah, oleh karena sudah dari titah baginda, hamba tiada menolak. Sungguh semula baginda menanam dan memelihara hamba tetapi kini baginda ingin mencabutnya, yah silakan. Hamba rela dibunuh demi kepentingan baginda, meskipun hamba tiada berdosa. Demikian ratapnya I Jayaprana seraya mencucurkan air mata. Selanjutnya I Jayaprana meminta kepada I Saunggaling supaya segera bersiap-siap menikamnya. Setelah I Saunggaling mempermaklumkan kepada I Jayaprana bahwa ia menuruti apa yang dititahkan oleh raja dengan hati yang berat dan sedih ia menancapkan kerisnya pada lambung kirinya I Jayaprana. Darah menyembur harum semerbak baunya bersamaan dengan alamat yang aneh-aneh di angkasa dan di bumi seperti: gempa bumi, angin topan, hujan bunga, teja membangun dan sebagainya.

Setelah mayat I Jayaprana itu dikubur, maka seluruh perbekel kembali pulang dengan perasaan sangat sedih. Di tengah jalan mereka sering mendapat bahaya maut. Diantara perbekel itu banyak yang mati. Ada yang mati karena diterkam harimau, ada juga dipagut ular. Berita tentang terbunuhnya I Jayaprana itu telah didengar oleh istrinya yaitu Ni Layonsari. Dari itu ia segera menghunus keris dan menikan dirinya. Demikianlah isi singkat cerita dua orang muda mudi itu yang baru saja berbulan madu atas cinta murninya akan tetapi mendapat halangan dari seorang raja dan akhirnya bersama-sama meninggal dunia.

Kebo Iwa

Di desa Bedahulu wilayah kabupaten Tabanan, Bali pada zaman dahulu, hiduplah sepasang suami istri. Mereka kaya, hanya saja mereka belum mempunyai anak. Bagi penduduk Bali pada masa itu, manusia yang belum mempunyai keturunan adalah manusia yang siasia hidupnya.
Suatu hari mereka pergi ke Pura Desa. Mereka memohon kepada Yang Maha Kuasa agar diberi keturunan. Waktu pun berlalu. Sang istri mulai mengandung. Betapa bahagianya mereka. Beberapa bulan kemudian, lahirlah seorang bayi laki-laki.
Bayi tersebut hendak disusui oleh ibunya, namun jarinya terus menunjuk ke arah sebuah nasi kukus. Bahwa nantinya anak ini akan menjadi tokoh besar, sudah nampak tanda- tandanya sejak dini.
Bayi itu menangis merengek seolah meminta sesuatu. Sang Ibu kasian mendengar rengekan sang bayi , Ibu kemudian mengambil nasi kukus tersebut dan mencoba untuk memberikannya pada bayi. Ibu bergumam dalam hatinya : Apakah anak ini ingin merasakan nasi kukusan ini? Umurnya belum cukup untuk makan nasi?”
Tak dinyana ternyata bayi tersebut memakan nasi kukus tersebut dengan lahapnya. Ibu bayi tersebut menampakkan keterkejutan yang sangat. Ketika baru lahir, anak tersebut sudah bisa untuk memakan nasi… Ibu:” Astaga, Kau telah berikan anak yang luar biasa, ya Hyang Widi…
Ternyata yang lahir bukanlah bayi biasa. Ketika masih bayi pun ia sudah bisa makan makanan orang dewasa. Setiap hari anak itu makin banyak dan makin banyak.
Anak itu tumbuh menjadi orang dewasa yang tinggi besar. Karena itu ia dipanggil dengan nama Kebo Iwa, yang artinya paman kerbau.
Kebo Iwa makan dan makan terus dengan rakus. Lama-lama habislah harta orang tuanya untuk memenuhi selera makannya. Mereka pun tak lagi sanggup memberi makan anaknya.
Dengan berat hati mereka meminta bantuan desa. Sejak itulah segala kebutuhan makan Kebo Iwa ditanggung desa. Penduduk desa kemudian membangun rumah yang sangat besar untuk Kebo Iwa. Mereka pun memasak makanan yang sangat banyak untuknya. Tapi lama-lama penduduk merasa tidak sanggup untuk menyediakan makanan. Kemudian mereka meminta Kebo Iwa untuk memasak sendiri. Mereka cuma menyediakan bahan mentahnya. Bahan-bahan pangan tersebut diolah oleh Kebo Iwa di Pantai Payan, yang bersebelahan dengan Pantai Soka.
Danau Beratan merupakan tempat dimana , Kebo Iwa biasanya membersihkan, walaupun jaraknya cukup jauh namun dengan tubuh besarnya jarak tidak menjadi masalah baginya, dia bisa mencapai setiap tempat yang diinginkannya di wilayah Bali dengan waktu singkat.
Kebo Iwa memang serba besar. Jangkauan kakinya sangat lebar, sehingga ia dapat bepergian dengan cepat. Kalau ia ingin minum, Kebo Iwa tinggal menusukkan telunjuknya ke tanah. Sehingga terjadilah sumur kecil yang mengeluarkan air.
Walaupun terlahir dengan tubuh besar, namun Kebo Iwa adalah seorang pemuda dengan hati yang lurus. Suatu ketika dalam perjalanannya pulang dariDanau beratan, Tampak segerombolan orang dewasa yang tidak berhati lurus, Dari kejauhan para warga desa merasa sangat cemas. Tampak seorang dari mereka tersita perhatiannya pada seorang gadis cantik. Laki-laki itu menggoda gadis ini dengan kasar, gadis ini menjadi takut dan enggan berbicara. Laki-laki itu semakin bernafsu dan tangan-tangannya mulai melakukan tindakan yang tidak senonoh.
Tiba-tiba Kebo Iwa muncul di belakang gerombolan tersebut, mencengkeram tangan salah seorang dari mereka, nampak kegeraman terpancar dari wajahnya, laki-laki itu menjerit kesakitan, gerombolan itu sangat terkejut melihat Kebo Iwa yang begitu besar, ketakutan nampak dari raut muka gerombolan tersebut. Gerombolan tersebut lari tunggang langgang.
Demikianlah Kebo Iwa membalas jasa baik para warga desanya dengan menjaga keamanan di mana dia tinggal. Tubuh yang besar sebagai karunia dari Sang Hyang Widi dimanfaatkan dengan sangat baik dan benar oleh Kebo Iwa.
Pada abad 11 Masehi, sebuah karya pahat yang sangat megah dan indah dibuat di dinding Gunung Kawi, Tampaksiring. Kebo Iwa yang memahat dinding gunung dengan indahnya, hanya dengan menggunakan kuku dari jari tangannya saja. Karya pahat tersebut dibuat hanya dalam waktu semalam suntuk, menggunakan kuku dari jari tangan Kebo Iwa.
Pahatan tersebut diperuntukkan memberikan penghormatan kepada Raja Udayana, Raja Anak Wungsu ,Permaisuri dan perdana menteri raja yang disemayamkan disana. Raja Anak Wungsu adalah raja yang berhasil mempersatukan Bali.
Salah satu hal yang paling istimewa dari Kebo Iwa adalah kemampuannya untuk membuat sumur mata air. Kebo Iwa dengan segenap kekuatan menusukkan jari tangannya ke dalam tanah. Dengan kekuatan jari tangannya yang dahsyat, dia mampu mengadakan sebuah sumur mata air, hanya dengan menusukkan jari telunjuknya ke dalam tanah.
Beragam kemampuan yang luar biasa tersebut, menyebabkan timbulnya daya tarik tersendiri dari pribadi seorang Kebo Iwa. Dan kekuatan luar biasa itu, menyebabkan seorang raja yang berkuasa keturunan terakhir
dari Dinasti Warma Dewa, bernama Sri Astasura Bumi Banten… menginginkan Kebo Iwa untuk menjadi salah satu patihnya di wilayah Blahbatuh…Yang juga dikenal dengan sebutan Raja Bedahulu. (‘Beda’ diartikan sebagai kekuatan yang berbeda). Kebo Iwa diangkat menjadi Patih kerajaan dan saat itu dia mengucapkan Janji bahwa selama Kebo Iwa masih bernafas Bali tidak akan pernah dikuasi.
Dengan dukungan dari patih Kebo Iwa yang luar biasa kuat, Sri Astasura Bumi Banten menyatakan bahwa kerajaannya tidak akan mau ditundukkan oleh Kerajaan Majapahit yang berkehendak untuk menaklukkan kerajaan di Bali.
Adapun kerajaan Majapahit waktu itu dipimpin oleh Raja Tri Bhuwana Tungga Dewi, dengan patihnya yang paling terkenal dengan terkenal dengan Sumpah Palapanya (sumpah untuk tidak menikmati kenikmatan dunia bila seluruh wilayah nusantara belum dipersatukan di bawah panji Majapahit) yang bernama Gajah Mada.
Karena kehebatannya, Kebo Iwa dapat menahan serbuan pasukan Majapahit yang hendak menaklukkan Bali. Semua kapal-kapal perang Majapahit ditenggelamkan selagi berada di Selat Bali.
Maha Patih Majapahit pun mengatur siasat. Dalam siasat yang diatur, Gajah Mada memberikan pujian kepada Baginda Sri Astasura Bumi Banten dan Patih Kebo Iwa tanpa menimbulkan kecurigaan. Lantas, Raja Majapahit membujuk Patih kebo Iwa untuk melakukan perjalanan ke Majapahit guna menikahi wanita terhormat nan jelita pilihan raja yang berasal dari Lemah Tulis.
Menanggapi tawaran dari Majapahit, Patih Kebo Iwa yang setia terhadap rajanya, memohon petunjuk dan persetujuan dari baginda Sri Astasura Bumi Banten. Sang Raja menyetujuinya tanpa rasa curiga.Sebelum pergi ke Majapahit, Patih Kebo Iwa terlebih dahulu melakukan upacara keagamaan di Pura Uluwatu, untuk meminta kekuatan dari Sang Hyang Rudra. Dan Sang Hyang Rudra memenuhi permintaan Kebo Iwa, mengakibatkan meningkatnya kekuatan dan kesaktian menjadi sangat luar biasa.
Kedatangan Patih Kebo Iwa ke tanah Majapahit menyebabkan para tentara, baik yang belum pernah melihatnya maupun yang pernah takluk atas kekuatannya, menjadi terperangah, kagum, bercampur rasa ngeri dan waspada, Tentara Majapahit, menampakkan ekspresi terkejut dan cemas. Arah pandang mereka terpusat ke satu tujuan yang sama. Beberapa diantara mereka nampak sedang berbisik pelan dengan teman yang berada di sebelahnya; “Lihatlah ukuran tubuhnya! Luar biasa ! Mengerikan !”.
Patih Gajah Mada menyambut kedatangan Patih Kebo Iwa: “Salam, Patih yang tangguh ! Selamat datang di Kerajaan Majapahit” Patih Kebo Iwa yang menimpali salam dari Patih Gajah Mada. Kebo Iwa : “Terima Kasih Patih, kiranya anda bersedia untuk langsung menjelaskan maksud dari Baginda Tri Bhuwana Tungga Dewi yang meminta saya untuk datang ke Majapahit.
Gajah Mada : “Seperti yang telah dikabarkan sebelumnya, Patih kebo Iwa, baginda Raja mengharapkan kedatangan patih guna menjalin suatu tali persahabatan dengan Kerajaan Bedahulu di Bali dan juga berharap agar patih bersedia menemui wanita terhormat pilihan baginda yang dirasa pantas untuk mendampingi seorang patih yang tangguh seperti anda”.
Gajah Mada menarik nafas panjang kemudian melanjutkan kata-katanya: “Akan tetapi sebelumnya, akan sangat berati apabila Patih kerajaan. Kebo Iwa berkenan membuat sumur air di sana yang nantinya akan dipersembahkan untuk wanita calon pendamping anda. Lebih lagi, sumur itu nantinya juga akan dimanfaatkan oleh rakyat kerajaan Majapahit yang saat ini sedang kekurangan air. Kiranya patih berkenan mengabulkan permohonan ini.
Patih Kebo Iwa memiliki jiwa besar dan lurus hatinya, akhirnya diapun meluluskan permintaan tersebut.Nampak Patih Kebo Iwa yang sedang mempertimbangkan permintaan tersebut. Kemudian memutuskan untuk memenuhi permintaan tersebut. Kebo Iwa (berpikir sejenak) kemudian dia berkata: “Baiklah, biarlah kekuatanku ini kupergunakan untuk sesuatu yang menghadirkan berkat bagi orang banyak”.
Tanpa banyak cakap lagi, Patih Kebo Iwa segera melakukan aktivitasnya untuk menciptakan sebuah sumur air. Sebelum memulai pekerjaannya, tidak lupa Patih Kebo Iwa meminta pedoman dari Sang Hyang Widi. Kebo Iwa : (dalam hati) Ya yang Kuasa, segala yang akan saya lakukan semoga menggambarkan kebesaran namaMu.Kebo Iwa mulai menggali sumur di tempat yang telah ditunjuk.
Dalam waktu yang cukup singkat, sumur telah tergali cukup dalam. Namun belum ada mata air yang keluar. Di atas lubang sumur yang digali oleh Patih Kebo Iwa, para prajurit Majapahit terlihat berkerumun, nampak mereka memusatkan pehatian pada Patih Gajah Mada. Seakan mereka menantikan sesuatu perintah…Tiba-tiba Gajah Mada berteriak: “Timbun dia dengan batu………!!!!” Seketika itu juga, para prajurit menimbun kembali lubang sumur yang sedang dibuat, dengan Patih Kebo Iwa berada di dalamnya.
Para prajurit menimbun lubang sumur dengan batu hasil galian itu sendiri, nampak Kebo Iwa sangat terkejut dan berusaha menahan jatuhnya batu. Dalam waktu yang singkat, lubang sumur itupun tertutup rapat. Mengubur
seorang pahlawan besar didalamnya. Patih Gajah Mada yang berbicara kepada paraparjuritnya.Gajah Mada : “Sungguh amat disayangkan seorang pahlawan besar seperti dia harus mengalami ini. Namun, hal ini terpaksa harus dilakukan, agar nusantara ini dapat dipersatukan. Dengan ini kerajaan Bali akan menjadi bagian dari Majapahit”.
Tiba-tiba timbunan batu melesat ke segala penjuru, menghantam prajurit Majapahit. Terdengar teriakan membahana dari dalam sumur. Kebo Iwa : (berteriak) “Belum ! Bali masih tetap merdeka, karena nafasku masih berhembus !!. Batu-batu yang ditimbunkan melesat kembali keangkasa dibarengi dengan teriakan prajurit Majapahit yang terhempas batu. Dari dalam sumur, keluarlah Patih Kebo Iwa, yang ternyata masih terlalu kuat untuk dikalahkan.
Patih Gajah Mada terkejut, menyaksikan Patih Kebo Iwa yang masih perkasa, dan beranjak keluar dari lubang sumur. Kebo Iwa : “Dan pembalasan adalah apa yang kutuntut dari sebuah pengkhianatan !” Patih Kebo Iwa menyerang Patih Gajah Mada kemarahan dan dendam mewarnai pertempuran. Akibat amarah dan dendam yang dirasakan oleh Patih Kebo Iwa, pertempuran berlangsung sengit selama beberapa waktu.
Disela-sela saling serang Gajah Mada berteriak:”Untuk memersatukan dan memperkuat nusantara, segenap kerajaan hendaklah dipersatukan terlebih dahulu. Dan kau berdiri di garis yang salah sebagai seorang penghalang !”.
Kesaktian Patih Kebo Iwa, sungguh menyulitkan usaha Patih Gajah Mada untuk menundukkannya. Pertempuran antara keduanya masih berlangsung hebat, namun amarah dan dendam Patih Kebo Iwa mulai menyurut…Dan rupanya Patih Kebo Iwa tengah bertempur seraya berpikir … Dan apa yang tengah dipikirkan
olehnya, membuat dia harus membuat keputusan yang sulit… Kebo Iwa : (dalam hati) Kerajaan Bali pada akhirnya akan dapat ditaklukkan oleh usaha yang kuat dari orang ini, keinginannya untuk mempersatukan nusantara agar menjadi kuat kiranya dapat aku mengerti kini.
Namun apabila, aku menyetujui niatnya dan ragaku masih hidup, apa yang akan aku katakan nantinya pada Baginda Raja sebagai sangkalan atas sebuah prasangka pengkhianatan ? Masih dalam keadaan bertempur, secara sengaja Patih Kebo Iwa melontarkan pernyataan yang intinya mengenai hal untuk mengalahkan kesaktiannya.
Kebo Iwa : “Wahai Patih Gajah Mada ! Cita-citamu untuk membuat nusantara menjadi satu dan kuat kiranya dapat aku mengerti, namun selama ragaku tetap hidup sebagai abdi rajaku, aku akan menjadi penghalangmu. Maka, taklukkan aku, hilangkan kesaktianku dengan menyiramkan bubuk kapur ke tubuhku.
Pernyataan Patih Kebo Iwa rupanya membuat terkesiap Patih Gajah Mada. Patih Gajah Mada menunjukkan reaksi keheranan yang amat sangat atas perkataan Patih Kebo Iwa.
Gajah Mada yang mengerti atas keinginan Kebo Iwa, nampak menghantamkan jurusnya ke batu kapur, batu itupun luluh lantakmenjadi serpihan bubuk.
Patih Gajah Mada menyapukan bubuk tersebut ke arah Patih Kebo Iwa dengan ilmunya, bubuk kapur menyelimuti tubuh sang patih Nampak Patih Kebo Iwa, sesak napasnya oleh karena bubuk kapur tersebut.
Kiranya bubuk kapur tersebut membuat olah pernapasan Patih Kebo Iwa menjadi terganggu, hal tersebut mengakibatkan kesaktian tubuh Patih Kebo Iwa menjadi lenyap.Patih Gajah Mada melesat ke arah Patih Kebo Iwa,menusukkan kerisnya ke tubuh Kebo Iwa.
Dan sebelum kepergiannya, dengan sisa tenaga yang ada Patih Kebo Iwa mengutarakan apa yang ingin dikatakan untuk terakhir kali. Patih Kebo Iwa : “Kiranya kematianku tidak sia-sia adanya…biarlah nusantara yang kuat bersatu hasil yang pantas atas harga hidupku”.
Patih Gajah Mada dengan raut muka sedih, memberikan jawaban atas perkataan Patih Kebo Iwa. Gajah Mada : “Kepergianmu sebagai tokoh besar akan terkenang dalam sejarah… Sejarah suatu nusantara yang satu dan kuat”.
Tak lama setelah mendengar pernyataan tersebut, napas terakhirpun pergilah sudah, meninggalkan raga seorang patih tertangguh dalam sejarah Bali… dan pertiwi pun meredup melepas kepergian salah satu putra terbaiknya.
Dengan meninggalnya Kebo Iwa, Bali pun dapat ditaklukkan Majapahit. Berakhirlah riwayat orang besar yang berjasa pada Pulau Bali.

Roro Jonggrang

Pada dahulu kala terdapat sebuah kerajaan besar yang bernama Prambanan. Rakyatnya hidup tenteran dan damai. Tetapi, apa yang terjadi kemudian? Kerajaan Prambanan diserang dan dijajah oleh negeri Pengging. Ketentraman Kerajaan Prambanan menjadi terusik. Para tentara tidak mampu menghadapi serangan pasukan Pengging. Akhirnya, kerajaan Prambanan dikuasai oleh Pengging, dan dipimpin oleh Bandung Bondowoso.
Bandung Bondowoso seorang yang suka memerintah dengan kejam. “Siapapun yang tidak menuruti perintahku, akan dijatuhi hukuman berat!”, ujar Bandung Bondowoso pada rakyatnya. Bandung Bondowoso adalah seorang yang sakti dan mempunyai pasukan jin. Tidak berapa lama berkuasa, Bandung Bondowoso suka mengamati gerak-gerik Roro Jonggrang, putri Raja Prambanan yang cantik jelita. “Cantik nian putri itu. Aku ingin dia menjadi permaisuriku,” pikir Bandung Bondowoso.
Esok harinya, Bondowoso mendekati Roro Jonggrang. “Kamu cantik sekali, maukah kau menjadi permaisuriku ?”, Tanya Bandung Bondowoso kepada Roro Jonggrang.
Roro Jonggrang tersentak, mendengar pertanyaan Bondowoso. “Laki-laki ini lancang sekali, belum kenal denganku langsung menginginkanku menjadi permaisurinya”, ujar Roro Jongrang dalam hati. “Apa yang harus aku lakukan ?”. Roro Jonggrang menjadi kebingungan. Pikirannya berputar-putar.
Jika ia menolak, maka Bandung Bondowoso akan marah besar dan membahayakan keluarganya serta rakyat Prambanan. Untuk mengiyakannya pun tidak mungkin, karena Roro Jonggrang memang tidak suka dengan Bandung Bondowoso. “Bagaimana, Roro Jonggrang ?” desak Bondowoso. Akhirnya Roro Jonggrang mendapatkan ide. “Saya bersedia menjadi istri Tuan, tetapi ada syaratnya,” Katanya. “Apa syaratnya? Ingin harta yang berlimpah? Atau Istana yang megah?”. “Bukan itu, tuanku, kata Roro Jonggrang. Saya minta dibuatkan candi, jumlahnya harus seribu buah. “Seribu buah?” teriak Bondowoso. “Ya, dan candi itu harus selesai dalam waktu semalam.” Bandung Bondowoso menatap Roro Jonggrang, bibirnya bergetar menahan amarah.
Sejak saat itu Bandung Bondowoso berpikir bagaimana caranya membuat 1000 candi. Akhirnya ia bertanya kepada penasehatnya. “Saya percaya tuanku bias membuat candi tersebut dengan bantuan Jin!”, kata penasehat. “Ya, benar juga usulmu, siapkan peralatan yang kubutuhkan!” Setelah perlengkapan di siapkan. Bandung Bondowoso berdiri di depan altar batu. Kedua lengannya dibentangkan lebar-lebar. “Pasukan jin, Bantulah aku!” teriaknya dengan suara menggelegar. Tak lama kemudian, langit menjadi gelap. Angin menderu-deru. Sesaat kemudian, pasukan jin sudah mengerumuni Bandung Bondowoso. “Apa yang harus kami lakukan Tuan ?”, tanya pemimpin jin. “Bantu aku membangun seribu candi,” pinta Bandung Bondowoso.
Para jin segera bergerak ke sana kemari, melaksanakan tugas masing-masing. Dalam waktu singkat bangunan candi sudah tersusun hampir mencapai seribu buah. Sementara itu, diam-diam Roro Jonggrang mengamati dari kejauhan. Ia cemas, mengetahui Bondowoso dibantu oleh pasukan jin. “Wah, bagaimana ini?”, ujar Roro Jonggrang dalam hati. Ia mencari akal. Para dayang kerajaan disuruhnya berkumpul dan ditugaskan mengumpulkan jerami. “Cepat bakar semua jerami itu!” perintah Roro Jonggrang. Sebagian dayang lainnya disuruhnya menumbuk lesung. Dung…dung…dung! Semburat warna merah memancar ke langit dengan diiringi suara hiruk pikuk, sehingga mirip seperti fajar yang menyingsing.
Pasukan jin mengira fajar sudah menyingsing. “Wah, matahari akan terbit!” seru jin. “Kita harus segera pergi sebelum tubuh kita dihanguskan matahari,” sambung jin yang lain. Para jin tersebut berhamburan pergi meninggalkan tempat itu. Bandung Bondowoso sempat heran melihat kepanikan pasukan jin. Paginya, Bandung Bondowoso mengajak Roro Jonggrang ke tempat candi. “Candi yang kau minta sudah berdiri!”. Roro Jonggrang segera menghitung jumlah candi itu. Ternyata jumlahnya hanya 999 buah!. “Jumlahnya kurang satu!” seru Roro Jonggrang. “Berarti tuan telah gagal memenuhi syarat yang saya ajukan”. Bandung Bondowoso terkejut mengetahui kekurangan itu.
Ia menjadi sangat murka. “Tidak mungkin…”, kata Bondowoso sambil menatap tajam pada Roro Jonggrang. “Kalau begitu kau saja yang melengkapinya!” katanya sambil mengarahkan jarinya pada Roro Jonggrang. Ajaib! Roro Jonggrang langsung berubah menjadi patung batu. Sampai saat ini candi-candi tersebut masih ada dan terletak di wilayah Prambanan, Jawa Tengah dan disebut Candi Roro Jonggrang.

Beungong Meulu dan Beungong Peukeun

Pada zaman dahulu kala, di sebuah negeri di Aceh, hidup dua orang kakak-beradik yang bernama Beungong Meulu dan Beungong Peukeun. Kedua orangtua mereka telah meninggal dunia. Tiap hari Beungong Peukeun mencari udang di danau. Suatu hari Beungong Peukun tidak mendapat seekor udang pun. Saat hendak pulang, dia melihat sebuah benda yang menarik hatinya. Ternyata benda itu sebutir telur.
Sesampainya di rumah, direbusnya telur tadi dan dimakannya. Sungguh aneh, keesokan harinya Beungong Peukeun merasa sangat haus. Bukan hanya itu, tubuhnya pun semakin panjang dan bersisik. Akhirnya, suatu pagi saat bangun dari tidurnya Beungong Peukun telah berubah menjadi seekor naga.
“Mengapa Kakak memakan telur itu? Kini kau menjadi seekor naga,” kata Beungong Meulu dengan terisak menyesali perbuatan kakaknya. Keesokan harinya Beungong Peukeun mengajak adiknya meninggalkan gubuk mereka. Sebelum berangkat, Beungong Peukeun menyuruh adiknya memetik tiga kuntum bunga di belakang gubuk mereka. “Ayo, naiklah ke punggungku dan peganglah bunga itu erat-erat, jangan sampai jatuh,” perintah Beungong Peukeun.
Saat melewati sungai besar, Beungong Peukeun meminum airnya hingga habis. Tiba-tiba muncul seekor naga yang marah karena perbuatan Beungong Peukeun tersebut. Keduanya bertarung sengit. Saat Beungong Peukuen memenangkan pertarungan tersebut sekuntum bunga di tangan Beungong Meulu menjadi layu.
Mereka pun melanjutkan perjalanan. Di tengah perjalanan mereka kembali dihadang seekor naga yang besar. Kembali terjadi pertarungan. Tiba-tiba sekuntum bunga di tangan Beungong Meulu menjadi layu. Tahulah dia bahwa sebentar lagi pertarungan akan dimenangkan Beungong Peukeun.
Setelah menang bertarung, kakak-beradik itu kembali melanjutkan perjalanan menyeberangi lautan. Rupanya di tengah perjalanan menyeberangi lautan tersebut, Beungong Peukeun kembali diserang seekor naga. Kali ini naga yang sangat besar. Saat bunga di tangan Beungong Meulu tak kunjung layu, dia mulai khawatir.
Beungong Meulu semakin khawatir ketika Beungong Peukeun tampak mulai kewalahan menghadapi serangan sang Naga. Saat mengetahui dirinya akan kalah, Beungong Peukeun melemparkan adiknya dari punggungnya. Akhirnya Beungong Peukeun terbunuh oleh serangan naga yang sangat besar itu. Sementara itu, Beungong Meulu terlempar dan tersangkut di sebuah pohon milik seorang saudagar kaya yang kemudian menikahinya.
Namun sayang, selama menjadi istri saudagar kaya tersebut, Beungong Meulu tak pernah bicara ataupun tersenyum. Dia selalu diam dan tampak sedih. Bahkan sampai mereka mempunyai seorang anak. Suaminya mencari akal untuk mengetahui penyebab kesedihan istrinya itu. Maka suatu hari suaminya berpura-pura mati sehingga anaknya menangis tersedu-sedu.
“O Anakku, ibu tahu bagaimana sedihnya hati bila ditinggal orang yang kita cintai. Ibu dulu kehilangan kakak ibu yang terbunuh oleh seekor naga di lautan. Bahkan hingga kini ibu tidak dapat menghilangkan rasa sedih itu.” Mendengar pengakuan Beungong Meulu tersebut suaminya kemudian bangun. Akhirnya, dia mengetahui penyebab kesedihan Beungong Meulu. Keesokan harinya dia mengajak Beungong Meulu pergi ke lautan, di mana dulu Beungong Peukeun bertarung melawan naga raksasa.
Saat sampai di pantai, Beungong Meulu dan suaminya melihat tulang-tulang berserakan. Beungong Meulu yakin bahwa itu tulang-tulang kakaknya. Maka, dikumpulkannya tulang-tulang tersebut kemudian suaminya membaca doa sambil memercikkan air bunga pada tulang-tulang tersebut. Atas perkenan Tuhan, tiba-tiba terjadi keajaiban. Beungong Peukeun menjelma dan berdiri di hadapan mereka. Sejak saat itu Beungong Peuken tinggal bersama adiknya dan Beungong Meulu tidak lagi membisu.
Suatu hari, Beungong Peukun berjalan-jalan di tepi pantai. Saat itu dia melihat seekor ikan raksasa berwarna kemerahan. Dihujamkannya sebilah pedang ke tubuh ikan tersebut kemudian dicongkelnya mata ikan tersebut. Karena terlalu keras, mata ikan tersebut terpelanting jauh hingga jatuh di halaman seorang penguasa di sebuah negeri. Mata ikan tersebut kemudian berubah menjadi gunung. Sang penguasa merasa gelisah dengan adanya gunung di halamannya. Ia kemudian mengadakan sebuah sayembara. Barang siapa dapat memindahkan gunung tersebut dari halaman rumahnya, dia akan dijadikan penguasa di negeri itu dan dinikahkan dengan anaknya.
Beungong Peukeun yang mendengar sayembara tersebut segera berangkat ke sana. Begitu tiba di tempat yang dimaksud, dia segera mencongkel gunung tersebut dengan pedang saktinya. Dalam sekejap, gunung tersebut dapat dilemparkannya jauh-jauh. Sang penguasa menepati janjinya. Beungong Peukeun diberi kekuasaan memerintah negeri tersebut dan dinikahkan dengan putri penguasa. Demikianlah kisah tentang dua saudara ini. Akhirnya, mereka berdua hidup bahagia.

Banta Seudang

Pada zaman dahulu, tersebutlah seorang raja yang memimpin wilayah Aceh. Sang Raja memimpin negeri dengan adil dan bijaksana. Ia didampingi oleh permaisuri yang cantik jelita dan berhati mulia. Sang Raja dan Permaisuri hidup berbahagia. Apalagi Permaisuri sedang mengandung anak pertama mereka. Setelah sembilan bulan, sang Permaisuri melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan. Betapa bahagianya sang Raja. Calon penggantinya kelak telah lahir. Bayi tersebut kemudian dinamakan Banta Seudang.
Belum genap satu bulan usia Banta, tiba-tiba sang Raja sakit. Badannya panas dan matanya menjadi buta. Cobaan itu amat menyedihkan sang Raja dan Permaisuri. Beberapa tabib telah dipanggil untuk mengobati sang Raja.
Namun, semua usaha tabib tak membuahkan hasil. Sang Raja amat resah. Bila ia masih buta, tentu tidak leluasa memimpin rakyatnya, padahal putranya masih bayi. Ia khawatir rakyatnya akan telantar. Maka sang Raja menyerahkan tampuk kekuasaannya kepada adiknya sampai Banta dewasa.
Rupanya adik Raja sangat jahat. Tak lama setelah kekuasaan diserahkan kepada adik Raja, ia menyuruh Raja dan keluarganya tinggal di sebuah rumah sederhana yang letaknya jauh dari istana. Ia sengaja mengasingkan keluarga Raja agar ia dapat selamanya berkuasa. Setiap hari, adik Raja mengirimkan satu tabung bambu beras bersama ikan dan sayuran sebagai jatah makan untuk keluarga itu. Kehidupan Raja dan keluarganya yang dulu berkecukupan berubah menjadi kekurangan. Mereka harus bergantung kepada pemberian adik Raja. Kadang-kadang, adik Raja tak mengirimkan jatah sama sekali sehingga keluarga Raja kelaparan. Namun demikian, sang Raja dan Permaisuri tetap bersabar. Mereka yakin, siapa yang berbuat jahat, suatu saat akan menerima hukumannya.
Waktu terus berlalu. Banta pun tumbuh dalam keadaan serba kekurangan. Ia tumbuh menjadi pemuda tampan yang pemberani, jujur, dan tahu sopan santun. Ia pun tahu penderitaan yang dialami keluarganya akibat kejahatan pakciknya sendiri. Lama-kelamaan, Banta tidak tega menyaksikan penderitaan keluarganya. Apalagi saat melihat ayahnya yang buta. Ia bertekad akan mencarikan obat untuk ayahnya.
“Ayah, Ibu, Banta ingin sekali merantau guna mencari obat bagi ayah,” kata Banta. Raja dan Permaisuri melepaskan kepergian Banta dengan doa.
Singkat cerita, Banta sampai di sebuah hutan. Suatu saat, ia salat dan menjadi makmum seorang aulia. Selesai salat, Banta bercerita kepada aulia itu bahwa ia ingin mencari obat bagi ayahnya yang buta. Aulia itu menyarankan untuk mengambil bunga bangkawali yang terdapat di sebuah kolam sebagai obat bagi ayah Banta.
Maka berjalanlah Banta menuju hutan yang dimaksud oleh aulia itu. Rupanya di tengah hutan itu terdapat sebuah taman yang indah dengan sebuah kolam berair jernih dan sebuah gubuk sederhana. Di dalam gubuk itu tinggal Mak Toyo, penjaga taman itu. Sebenarnya, taman itu milik seorang raja yang tinggal amat jauh dari hutan itu. Sang Raja memiliki tujuh putri yang semuanya berparas cantik. Konon, setiap putri itu memiliki baju ajaib. Bila baju itu dikenakan maka orang yang memakainya dapat terbang seperti burung.
Banta kemudian tinggal bersama Mak Toyo. Setiap hari ia merawat taman itu. Suatu Jumat, tujuh putri Raja mandi di kolam. Banta amat terpesona dengan kecantikan mereka. Saat mereka beristirahat, Mak Toyo turun ke kolam, kemudian menepuk air tiga kali. Tiba-tiba muncul bunga bangkawali.
“Mak, bolehkah bunga bangkawali itu kuminta untuk obat ayahku?” pinta Banta.
Mak Toyo memberikannya. Betapa senang hati Banta. Ia ingin segera pulang. Namun sebelumnya, ia ingin menikahi salah satu putri Raja. Maka Banta menunda kepulangannya.
Hari Jumat berikutnya, ketujuh putri Raja itu kembali mandi di kolam. Saat mereka mandi itulah, diam-diam Banta mencuri salah satu baju terbang mereka yang tergeletak di atas batu. Saat ketujuh putri itu ingin pulang, mereka kebingungan karena baju terbang si Bungsu hilang sehingga tak bisa pulang. Terpaksa si Bungsu tinggal bersama Mak Toyo.
Setelah beberapa lama tinggal di rumah Mak Toyo, si Bungsu jatuh cinta pada Banta yang baik hati itu. Demikian pula Banta. Keduanya kemudian menikah. Beberapa hari setelah pernikahan, Banta mengajak si Bungsu dan Mak Toyo menemui orangtuanya. Tak lupa, bunga bangkawali ia bawa serta.
Kedatangan Banta disambut gembira oleh Raja dan Permaisuri. Banta segera mengambil semangkuk air. Bunga bangkawali ia rendam di dalamnya, kemudian airnya dikompreskan ke wajah sang Ayah. Tak lama kemudian, ayahnya dapat melihat kembali.
Keesokan harinya, ayah Banta datang ke istana menemui adiknya. Melihat kedatangan kakaknya yang tidak buta lagi, sang Adik amat gugup. Ia juga merasa bersalah karena telah menelantarkan kakak beserta keluarganya itu.
“Maafkan saya, Bang. Selama ini saya telah menelantarkan keluarga Abang. Sekarang saya serahkan kembali tahta Abang,” kata sang Adik.
Ayah Banta pun kembali menjadi raja. Banta hidup berbahagia bersama ayah ibu beserta istrinya dan Mak Toyo. Beberapa waktu kemudian Banta dilantik menjadi raja menggantikan ayahnya. Ia memimpin negeri dengan adil dan bijaksana.

Asal Usul Tari Guel

Tersebutlah dua bersaudara putra Sultan Johor, Malaysia. Mereka adalah Muria dan Sengede.
Suatu hari, kakak beradik itu menggembala itik di tepi laut sambil bermain layang-layang. Tiba-tiba datang badai dahsyat sehingga benang layang-layang mereka pun putus. Sekuat tenaga mereka mengejar layang-layang tersebut. Mereka lupa bahwa pada saat itu mereka sedang menggembala itik, hingga itiknya pun pergi entah ke mana.
Setelah gagal menemukan layang-layang mereka, barulah mereka teringat akan itik-itik mereka. Tetapi malang, itik-itik itu tak lagi nampak. Mereka pun pulang dengan ketakutan akan mendapat marah dari orangtua mereka.
Benar juga apa yang mereka pikirkan. Setiba di rumah, mereka dimarahi ayah mereka. Mereka juga disuruh mencari itik-itik itu, dan tak diizinkan kembali sebelum itik-itik yang hilang itu ditemukan kembali.
Berhari-hari bahkan berbulan-bulan mereka berjalan mencari itik mereka, tapi tak membawa hasil hingga akhirnya mereka tiba di Kampung Serule. Dengan tubuh yang lunglai mereka menuju ke sebuah meunasah/langgar dan tertidur lelap. Pagi harinya mereka ditemukan oleh orang kampung dan dibawa menghadap ke istana Raja Serule. Di luar dugaan, mereka malah diangkat anak oleh baginda raja.
Beberapa waktu berlalu, rakyat Serule hidup makmur, aman, dan sentosa. Hal ini dikarenakan oleh kesaktian kedua anak tersebut. Kemakmuran rakyat Serule itu membuat Raja Linge iri dan gusar, sehingga mengancam akan membunuh kedua anak tersebut. Malang bagi Muria, ia berhasil dibunuh dan dimakamkan di tepi Sungai Samarkilang, Aceh Tenggara.
Pada suatu saat, raja-raja kecil berkumpul di istana Sultan Aceh di Kutaraja. Raja-raja kecil itu mempersembahkan cap usur, semacam upeti kepada Sultan Aceh. Saat itu, Cik Serule datang bersama Sangede. Saat itu, Raja Linge juga hadir. Saat Raja Serule masuk ke istana, Sangede menunggu di halaman istana.
Sambil menunggu ayah angkatnya, Sangede menggambar seekor gajah yang berwarna putih. Rupanya lukisan Sangede ini menarik perhatian Putri Sultan yang kemudian meminta Sultan mencarikan seekor gajah putih seperti yang digambar oleh Sangede.
Sangede kemudian menceritakan bahwa gajah putih itu berada di daerah Gayo, padahal dia sebenarnya belum pernah melihatnya. Maka, saat itu juga Sultan memerintahkan Raja Serule dan Raja Linge untuk menangkap gajah putih tersebut guna dipersembahkan kepada Sultan. Raja Serule dan Raja Linge benar-benar kebingungan, bagaimana mungkin mencari sesuatu yang belum pernah dilihatnya.
Sangede menyesal karena bercerita bahwa gajah putih itu ada di Gayo hingga ayah angkatnya mendapat tugas mencarinya. Dalam kebingungan itu, suatu malam Sangede bermimpi bertemu dengan Muria yang memberitahu bahwa gajah putih itu berada di Samarkilang, dan sebenarnya gajah putih itu adalah dirinya yang menjelma saat dibunuh oleh Raja Linge.
Pagi harinya, Sangede dan Raja Serule yang bergelar Muyang Kaya pergi ke Samarkilang seperti perintah dalam mimpi Sangede. Benar juga, setelah beberapa saat mencari, mereka berdua menemukan gajah putih itu sedang berkubang di pinggiran sungai.
Sangede dan Raja Serule Muyang Kaya kemudian dengan hati-hati mengenakan tali di tubuh gajah yang nampak penurut itu. Tetapi saat akan dihela, gajah putih itu lari sekuat tenaga. Raja Serule dan Sangede tak mampu menahannya. Mereka hanya bisa mengejarnya hingga suatu saat gajah itu berhenti di dekat kuburan Muria di Samarkilang.
Anehnya, gajah putih itu berhenti seperti sebongkah batu. Tak bergerak sedikit pun meski Sangede dan Raja Serule mencoba menghelanya. Berbagai cara dicoba oleh Sangede agar gajah putih itu mau beranjak dan menuruti perintahnya untuk diajak pergi ke istana Kutaraja. Tetapi, semuanya sia-sia.
Sangede kehabisan akal. Akhirnya, dia bernyanyi-nyanyi untuk menarik perhatian gajah putih. Sambil bernyanyi, Sangede meliuk-liukkan tubuhnya. Raja Serule ikut-ikutan menari bersama Sangede di depan gajah putih agar mau bangkit dan menuruti perintahnya. Di luar dugaan, gajah putih itu tertarik juga oleh gerakan-gerakan Sangede, dan kemudian bangkit. Sangede terus menari sambil berjalan agar gajah itu mengikuti langkahnya. Akhirnya, gajah itu pun mengikuti Sangede yang terus menari hingga ke istana. Tarian itu disebutnya tarian Guel hingga sekarang.
Sangede menyadari bahwa sesuatu ajakan kepada seseorang atau kepada binatang tidaklah harus dengan cara yang kasar. Dengan sebuah tarian pun akhirnya gajah putih itu menuruti ajakannya.

Sahudin Cempanir

Seorang pemuda bernama Sahudin. Jika dilihat tampangnya, terlihat agak ganteng, tapi dia sedikit kurang cerdas. Sahudin seorang bujang yang ingin menikah. Ia pun menyampaikan niat itu pada bibinya, kemudian bibinya ini yang akan menjadi perpanjangan lidah Sahudin pada orangtuanya.

Dipilihlah seorang gadis untuk Sahudin. Setelah acara pelamaran, pesta pun digelar. Semuanya terjadi serba cepat. Si gadis langsung mengiyakan lamaran karena melihat tampang Sahudin yang lumayan. Setelah menikah, barulah terlihat perlahan. Awalnya Sahudin tidak punya pekerjaan, semuanya hanya berharap dari belas kasih mertuanya, karena memang dia tinggal di rumah istri. Sampai sekian lama belum juga ada mata pencaharian Sahudin. Si istri mulai berbadan dua. Mertua juga mulai lelah melihat keadaan menantunya. Adanya hanya duduk-duduk di rumah setiap hari, bermain dengan istrinya, begitu setiap harinya.

Telah sampai masa, si istri melahirkan seorang anak perempuan. Sahudin belum menunjukkan perubahan apa pun. Ada satu hal sifatnya yang sangat menonjol, yaitu ‘lupa’. Sahudin sangat pelupa sehingga setiap dia dimarahi oleh mertuanya, dia cuek saja karena saat itu juga dia bisa lupa.
Suatu hari, mertuanya meminta Sahudin membeli perlengkapan bersalin untuk istrinya dan untuk perlengkapan anaknya. Hal yang perlu dibeli itu bedak, tampal, popok anak. Dengan cepat Sahudin berangkat, tapi sampai di jalan dia bahkan tidak mengingat apa pun yang di perintahkan oleh mertuanya. Akhirnya, Sahudin kembali lagi ke rumah dan bertanya pada mertuanya.
“Mak, tadi saya di suruh membeli apa?” tanya Sahudin pada mertuanya.
“Bedak, tampal, popok,” jawab mertuanya dengan baik.

Dengan begitu, Sahudin sudah tahu apa yang hendak dia beli. Namun, sekarang berbeda, Sahudin mencoba menyanyikan pesanan mertuanya agar dia tidak lupa lagi. “Bedak, tampal, popok anak….., bedak tampal popok anak…,” begitu terus menerus mulai dari pintu rumah. Namun, ternyata tidak tertahan lama, sesampainya di halaman, kaki Sahudin tersandung oleh bongkahan batu hingga membuat nyeri di kakinya. Nyanyian Sahudin pun terhenti, dia mengaduh sesaat merasai nyeri di kakinya. Setelah nyeri hilang, dia lupa lagi apa yang hendak dikerjakannya tadi. Mengingat-ingat sesaat, tapi tidak juga menemukan jawabnya. Terpaksa dia pulang lagi dan bertanya pada mertuanya.
“Mak, tadi saya disuruh membeli apa?” tanya Sahudin.
“Bedak, tampal, popok,” jawab dengan baik lagi oleh mertuanya.

Sahudin pergi lagi dengan bernyanyi, dia terus melewati pintu pagar hingga menelusuri jalan, masih saja terus bernyanyi dan bernyanyi. Nyanyiannya pun tetap sama dan dengan irama yang sama pula. “Bedak, tampal, popok anak….., bedak tampal popok anak…,” begitu terus menerus.

Ketika menelusuri sepanjang jalan menuju pasar, Sahudin bertemu dengan kawannya, kawannya menegur. “Hendak kemana, Din?” Bagaimanapun dia harus menjawab, tidak mungkin tidak. “O, mau ke pasar sebentar,” jawabnya singkat. Temannya bertanya lagi, “Ngapain?” medengar pertanyaan itu Sahudin memikirkan jawabannya, ternyata dia lupa lagi. Dia bahkan tidak tahu ngapain dia ke Pasar.
Sahudin kembali lagi ke rumah, hendak bertanya lagi pada emak mertuanya, atas tujuan apa dia di suruh ke pasar. “Mak, tadi saya di suruh membeli apa?” “Bedak, tampal, popok,” jawab mertuanya geram dan penuh amarah oleh. “O, iya!“ jawab Sahudin dengan entengnya. Lagi-lagi dia menelusuri jalan dengan nyanyian khasnya. Sambil berjalan dia mencoba menutup telinga dan memicing-micingkan mata agar tidak ada satu orang pun yang menegurnya. Selain itu, agar dia tidak ada keinginan pula untuk menegur orang lain.

Ternyata ini adalah usaha terakhir Sahudin, akhirnya dia berhasil membawa pesanan mertuanya.
Setelah itu, Sahudin tidak ada kegiatan lagi, tidak ada pula pekerjaannya. Lagi-lagi dia duduk-duduk di rumah mendampingi anak dan istrinya sambil bermain-main. Padahal, itu pantang dilakukan oleh seorang suami di Gayo. Melihat keadaan itu, ibunya geram dan marah. “Hey, Aman Nipak, tidak perlu terus-terusan di jaga anak dan istrimu di persalinan, atau kamu juga ingin bersalin? Dengar ya, kalau memang tidak punya kerjaan, pergi cari bibit, tanami tanah lapang dan tanah yang rata itu,” Begitulah amarah mertuanya, ternyata cukup menggairahkan ingatannya.

Segeralah Sahudin pergi ke pasar membeli bibit jagung. Setelah itu, dia membawa berbagai peralatan menanam ke lapangan umum dan menanami jagung di sana. Orang-orang terkejut dan sontak bertanya, “ Sahudin, kenapa lapangan ini ditanami jagung?” Dengan simple Sahudin menjawab, “disuruh oleh mertuaku.”

Pernyataan semacam itu membuat orang-orang lebih terkejut lagi. Lebih-lebih ketika melihat Sahudin juga menanami jagung di jalan-jalan setapak, karena menurutnya itu tanah yang rata yang di sebutkan oleh mertuanya.

Mengetahui itu, mertua Sahudin marah besar. ‘’Dasar menantu bodoh, tidak becus apa-apa.’’ semua ucapan pun terlontar dari mulut mertuanya. Sahudin merasa bersalah dan akhirnya dia diam-diam saja. Melihat keadaan itu, mertuanya menjadi merasa tidak enak. Untuk memecahkan suasana tidak enak ini mertuanya meminta Sahudin untuk membeli garam. “Aman Nipak, tolong belikan garam untuk pakis dan talas.” Dengan perintah itu Sahudin kembali merasa dihargai lagi.

Dengan penuh semangat dia pergi membeli garam. Sesampai di pasar Sahudin membeli garam. Sepulang dari pasar, Sahudin kembali menelusuri jalan yang biasa. Di sepanjang jalan ada pakis dan talas yang tumbuh berjejer, karena merasa ingin membantu mertuanya dia langsung menaburkan garam pada talas dan pakis di sepanjang jalan. Al-hasil sesampai di rumah garam tinggal sedikit. Ibu mertuanya bertanya lagi, “Aman Nipak, kenapa garamnya tinggal sedikit?” dengan bangga Sahudin menjawab, Mak, tadi emak katakan garamnya untuk talas dan pakis. Nah, ketika pulang tadi, aku langsung memberi garam pada talas dan pakis, agar Emak tidak capek-capek lagi.” Mendengar jawaban itu, mertuanya hanya bisa mengelus dada.

Thursday, December 24, 2015

Danau Lipan

Di kecamatan Muara Kaman kurang lebih 120 km di hulu Tenggarong ibukota Kabupaten Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur ada sebuah daerah yang terkenal dengan nama Danau Lipan. Meskipun bernama Danau, daerah tersebut bukanlah danau seperti Danau Jempang dan Semayang. Daerah itu merupakan padang luas yang ditumbuhi semak dan perdu.
Dahulu kala kota Muara Kaman dan sekitarnya merupakan lautan. Tepi lautnya ketika itu ialah di Berubus, kampung Muara Kaman Ulu yang lebih dikenal dengan nama Benua Lawas. Pada masa itu ada sebuah kerajaan yang bandarnya sangat ramai dikunjungi karena terletak di tepi laut.
Terkenallah pada masa itu di kerajaan tersebut seorang putri yang cantik jelita. Sang putri bernama Putri Aji Bedarah Putih. Ia diberi nama demikian tak lain karena bila sang putri ini makan sirih dan menelan air sepahnya maka tampaklah air sirih yang merah itu mengalir melalui kerongkongannya.
Kejelitaan dan keanehan Putri Aji Bedarah Putih ini terdengar pula oleh seorang Raja Cina yang segera berangkat dengan Jung besar beserta bala tentaranya dan berlabuh di laut depan istana Aji Bedarah Putih. Raja Cina pun segera naik ke darat untuk melamar Putri jelita.
Sebelum Raja Cina menyampaikan pinangannya, oleh Sang Putri terlebih dahulu raja itu dijamu dengan santapan bersama. Tapi malang bagi Raja Cina, ia tidak mengetahui bahwa ia tengah diuji oleh Putri yang tidak saja cantik jelita tetapi juga pandai dan bijaksana. Tengah makan dalam jamuan itu, puteri merasa jijik melihat kejorokan bersantap dari si tamu. Raja Cina itu ternyata makan dengan cara menyesap, tidak mempergunakan tangan melainkan langsung dengan mulut seperti anjing.
Betapa jijiknya Putri Aji Bedarah Putih dan ia pun merasa tersinggung, seolah-olah Raja Cina itu tidak menghormati dirinya disamping jelas tidak dapat menyesuaikan diri. Ketika selesai santap dan lamaran Raja Cina diajukan, serta merta Sang Putri menolak dengan penuh murka sambil berkata, “Betapa hinanya seorang putri berjodoh dengan manusia yang cara makannya saja menyesap seperti anjing.”
Penghinaan yang luar biasa itu tentu saja membangkitkan kemarahan luar biasa pula pada Raja Cina itu. Sudah lamarannya ditolak mentah-mentah, hinaan pula yang diterima. Karena sangat malu dan murkanya, tak ada jalan lain selain ditebus dengan segala kekerasaan untuk menundukkan Putri Aji Bedarah Putih. Ia pun segera menuju ke jungnya untuk kembali dengan segenap bala tentara yang kuat guna menghancurkan kerajaan dan menawan Putri.
Perang dahsyat pun terjadilah antara bala tentara Cina yang datang bagai gelombang pasang dari laut melawan bala tentara Aji Bedarah Putih. Ternyata tentara Aji Bedarah Putih tidak dapat menangkis serbuan bala tentara Cina yang mengamuk dengan garangnya. Putri yang menyaksikan jalannya pertempuran yang tak seimbang itu merasa sedih bercampur geram. Ia telah membayangkan bahwa peperangan itu akan dimenangkan oleh tentara Cina. Karena itu timbullah kemurkaannya.
Putri pun segera makan sirih seraya berucap, “Kalau benar aku ini titisan raja sakti, maka jadilah sepah-sepahku ini lipan-lipan yang dapat memusnahkan Raja Cina beserta seluruh bala tentaranya.” Selesai berkata demikian, disemburkannyalah sepah dari mulutnya ke arah peperangan yang tengah berkecamuk itu. Dengan sekejap mata sepah sirih putri tadi berubah menjadi beribu-ribu ekor lipan yang besar-besar, lalu dengan bengisnya menyerang bala tentara Cina yang sedang mengamuk.
Bala tentara Cina yang berperang dengan gagah perkasa itu satu demi satu dibinasakan. Tentara yang mengetahui serangan lipan yang tak terlawan itu, segera lari lintang-pukang ke jungnya. Demikian pula sang Raja. Mereka bermaksud akan segera meninggalkan Muara Kaman dengan lipannya yang dahsyat itu, tetapi ternyata mereka tidak diberi kesempatan oleh lipan-lipan itu untuk meninggalkan Muara Kaman hidup-hidup. Karena lipan-lipan itu telah diucap untuk membinasakan Raja dan bala tentara Cina, maka dengan bergelombang mereka menyerbu terus sampai ke Jung Cina. Raja dan segenap bala tentara Cina tak dapat berkisar ke mana pun lagi dan akhirnya mereka musnah semuanya. Jung mereka ditenggelamkan juga.
Sementara itu Aji Bedarah Putih segera hilang dengan gaib, entah kemana dan bersamaan dengan gaibnya putri, maka gaib pulalah Sumur Air Berani, sebagai kekuatan tenaga sakti kerajaan itu. Tempat Jung Raja Cina yang tenggelam dan lautnya yang kemudian mendangkal menjadi suatu daratan dengan padang luas itulah yang kemudian disebut hingga sekarang dengan nama Danau Lipan.

Telaga Pasir

Kyai Pasir dan Nyai Pasir adalah pasangan suami isteri yang hidup di hutan gunung Lawu. Mereka berteduh di sebuah rumah (pondok) di hutan lereng gunung Lawu sebelah timur. Pondok itu dibuat dari kayu hutan dan beratapkan dedaunan. Dengan pondok yang sangat sederhana ini keduanya sudah merasa sangat aman dan tidak takut akan bahaya yang menimpanya, seperti gangguan binatang buas dan sebagainya. Lebih-lebih mereka telah lama hidup di hutan tersebut sehingga paham terhadap situasi lingkungan sekitar dan pasti dapat mengatasi segala gangguan yang mungkin akan menimpa dirinya.
Pada suatu hari pergilah Kyai Pasir ke hutan dengan maksud bertanam sesuatu di ladangnya, sebagai mata pencaharian untuk hidup sehari-hari. Oleh karena ladang yang akan ditanami banyak pohon-phon besar, Kyai Pasir terlebih dahulu menebang beberapa pohon besar itu satu demi satu.
Tiba-tiba Kyai Pasir terkejut karena mengetahui sebutir telur ayam terletak di bawah salah sebuah pohon yang hendak ditebangnya. Diamat-amatinya telur itu sejenak sambil bertanya di dalam hatinya, telur apa gerangan yang ditemukan itu. Padahal di sekitarnya tidak tampak binatang unggas seekorpun yang biasa bertelur. Tidak berpikir panjang lagi, Kyai Pasir segera pulang membwa telur itu dan diberikan kepada isterinya.
Kyai Pasir menceritakan ke Nyai Pasir awal pertamanya menemukan telur itu, sampai dia bawa pulang.
Akhirnya kedua suami isteri itu sepakat telur temuan itu direbus. Setelah masak, separo telur masak tadi oleh Nyai Pasir diberikan ke suaminya. Dimakannya telur itu oleh Kyai Pasir dengan lahapnya. Kemudian Kemudian Kyai Pasir berangkat lagi keladang untuk meneruskan pekerjaan menebang pohon dan bertanam.
Dalam perjalanan kembali ke ladang, Kyai Pasir masih merasakan nikmat telur yang baru saja dimakannya. Namun setelah tiba di ladang, badannya terasa panas, kaku serta sakit sekali. Mata berkunang-kunang, keringat dingin keluar membasahi seluruh tubuhnya. Derita ini datangnya secara tiba-tiba, sehingga Kyai Pasir tidak mampu menahan sakit itu dan akhirnya rebah ke tanah. Mereka sangat kebingungan sebab sekujur badannya kaku dan sakit bukan kepalang. Dalam keadaan yang sangat kritis ini Kyai Pasir berguling-guling di tanah, berguling kesana kemari dengan dahsyatnya. Gaib menimpa Kyai Pasir. Tiba-tiba badanya berubah wujud menjadi ular naga yang besar, bersungut, berjampang sangat menakutkan. Ular Naga itu berguling kesana kemari tanpa henti-hentinya.
Alkisah, Nyai Pasir yang tinggal di rumah dan juga makan separo dari telur yang direbus tadi, dengan tiba-tiba mengalami nasib sama sebagaimana yang dialami Kyai Pasir. Sekujur badannya menjadi sakit, kaku dan panas bukan main. Nyai Pasir menjadi kebingungan, lari kesana kemari, tidak karuan apa yang dilakukan.
Karena derita yang disandang ini akhirnya Nyai Pasir lari ke ladang bermaksud menemui suaminya untuk minta pertolongan. Tetapi apa yang dijuumpai. Bukannya Kyai Pasir, melainkan seekor ular naga yang besar sekali dan menakutkan. Melihat ular naga yang besar itu Nyai Pasir terkejut dan takut bukan kepalang. Tetapi karena sakit yang disandangnya semakin parah, Nyai Pasir tidak mampu lagi bertahan dan rebahlah ke tanah. Nyai Pasir mangalami nasib gaib yang sama seperti yang dialami suaminya. Demikian ia rebah ke tanah, badannya berubah wujud menjadi seekor ular naga yang besar, bersungut, berjampang, giginya panjang dan runcing sangat mengerikan. Kedua naga itu akhirnya berguling-guling kesana kemari, bergeliat-geliat di tanah ladang itu, menyebabkan tanah tempat kedua naga berguling-guling itu menjadi berserakan dan bercekung-cekung seperti dikeduk-keduk. Cekungan itu makin lama makin luas dan dalam, sementara kedua naga besar itu juga semakin dahsyat pula berguling-guling dan tiba-tiba dari dalam cekungan tanah yang dalam serta luas itu menyembur air yang besar memancar kemana-mana. Dalam waktu sekejap saja, cekungan itu sudah penuh dengan air dan ladang Kyai Pasir berubah wujud mejadi kolam besar yang disebut Telaga. Telaga ini oleh masyarakat setempat terdahulu dinamakan Telaga Pasir, karena telaga ini terwujud disebabakan oleh ulah Kyai Pasir dan Nyai Pasir.

Monday, December 21, 2015

Putri Pandan Berduri

Pada jaman dulu di Pulau Bintan, kepulauan Riau, hiduplah orang orang suku Laut yang dipimpin oleh Batin Lagoi. Pemimpin suku Laut ini merupakan seorang yang santun dan memimpin dengan adil. Tutur katanya yang lemah lembut terhadap siapa saja membuat masyarakat Suku Laut sangat mencintai pemimpin mereka itu.
Guna mengetahui keadaan rakyatnya, Batin Lagoi senantiasa berkeliling. Pada suatu hari, Batin Lagoi berjalan menyusuri pantai yang disekitarnya penuh ditumbuhi semak pandan. Sayup sayup telinga Batin Lagoi menangkap suara tangisan bayi.
“Anak siapa itu yang menangis di tempat seperti ini ?” pikirnya heran sambil memandang sekeliling. Karena ia tak melihat seorangpun, Batin Lagoi meneruskan langkahnya.
Baru beberapa langkah, Batin Lagoi kembali mendengar suara tangisan bayi yang kini semakin jelas. Batin Lagoi kembali memandang sekeliling, namun ia tak jua melihat seorangpun disana. Karena penasaran, Batin Lagoi mengikuti asal suara tangisan yang membawanya ke semak semak pandan. Batin Lagoi menginjak semak semak itu dengan hati hati. Suara tangisan bayi terdengar semakin keras. Batin Lagoi tercengang melihat seorang bayi perempuan yang diletakkan di atas dedaunan yang kini berada di depannya.
Rasa heran kembali menyergap Batin Lagoi. ‘Siapa gerangan yang meletakkan bayinya disini ?’, gumamnya pelan. Batin Lagoi terdiam sejenak. Setelah memastikan tak ada orang di sekitar situ, Batin Lagoi memutuskan untuk membawa pulang bayi perempuan yang cantik itu. Sang bayipun berhenti menangis ketika Batin Lagoi menggendongnya.
Batin Lagoi merawat bayi perempuan itu dengan penuh kasih sayang bak anaknya sendiri. Terkadang ia merasa bayi itu memang diberikan Tuhan untuknya. Bayi perempuan yang diberinya nama Putri Pandan Berduri itu sungguh membawa kebahagiaan bagi Batin Lagoi yang selama ini hidup sendiri.
Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Putri Pandan Berduri telah tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik jelita. Bukan hanya parasnya yang menawan, Putri Pandan Berduri juga memiliki sikap yang sangat anggun dan santun layaknya seorang putri. Tutur katanya yang lembut membuat masyarakat Suku Laut mencintainya.
Banyak pemuda yang terpikat akan kecantikan Putri Pandan Berduri. Meski demikian tak seorangpun berani meminangnya. Batin Lagoi memang berharap agar putrinya itu berjodoh dengan anak seorang raja atau pemimpin suatu daerah.
Tersebutlah seorang pemimpin di Pulau Galang yang memiliki dua orang putera bernama Julela dan Jenang Perkasa. Sedari kecil kakak beradik itu hidup rukun. Kerukunan itu sirna ketika sang ayah mengatakan bahwa sebagai anak tertua, Julela akan menggantikan dirinya sebagai pemimpin di Pulau Galang kelak. Sejak itu, Julela berubah perangai menjadi angkuh. Ia bahkan mengancam Jenang Perkasa agar selalu mengikuti setiap perkataannya sebagai calon pemimpin.
Jenang Perkasa sungguh kecewa akan sikap kakaknya. Akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan Pulau Galang. Berhari hari ia berlayar tanpa mengetahui arah tujuan hingga tiba di Pulau Bintan. Jenang Perkasa tak pernah mengaku sebagai anak pemimpin Pulau Galang. Sehari hari ia bekerja sebagai pedagang seperti orang kebanyakan.
Sebagai seorang pendatang, Jenang Perkasa cepat menyesuaikan diri. Sikapnya yang sopan dan gaya bahasanya yang halus membuat kagum setiap orang. Mereka tak habis pikir bagaimana seorang pemuda biasa memiliki sifat seperti itu. Akibatnya Jenang Perkasa menjadi bahan pembicaraan di seluruh pulau.
Cerita tentang Jenang Perkasa sampai juga di telinga Batin Lagoi. Ia sangat penasaran untuk mengenal pemuda itu secara langsung. Agar tak mencolok, Batin Lagoi menyelenggarakan acara makan malam dengan mengundang seluruh tokoh terkemuka di Pulau Bintan. Ia juga mengundang Jenang Perkasa dalam acara itu.
Jenang Perkasa yang sebenarnya heran mengapa dirinya diundang Batin Lagoi, datang memenuhi undangan. Sejak kedatangannya, Batin Lagoi senantiasa memperhatikan gerak gerik Jenang Perkasa. Caranya bersikap, berbicara, bahkan sampai caranya bersantap diamati Batin Lagoi diam diam. Tak dapat dipungkiri, Batin Lagoi sangat terkesan terhadap Jenang Perkasa. Terbersit dihatinya untuk menjodohkan Jenang Perkasa dengan Putri Pandan Berduri. Batin Lagoi sepertinya lupa akan keinginannya untuk menikahkan putrinya dengan seorang pangeran atau calon pemimpin.
Tak mau membuang kesempatan, Batin Lagoi segera menghampiri Jenang Perkasa.
‘Wahai anak muda, sudah lama aku mendengar kehalusan budi pekertimu..’, katanya membuka percakapan. Jenang Perkasa hanya tersenyum sopan mendengar kata kata pemimpin Pulau Bintan itu.
“Malam ini aku telah membuktikkannya sendiri’, lanjut Batin Lagoi sambil menatap Jenang Perkasa yang menunduk malu mendengar pujian Batin Lagoi.
“Aku pikir, alangkah senangnya hatiku jika kau bersedia kunikahkan dengan putriku..’.
Jenang Perkasa sungguh terkejut mendengar tawaran Batin Lagoi. Ia mengusap usap lengannya untuk memastikan dirinya tak sedang bermimpi. Ia sama sekali tak menyangka ayah seorang perempuan cantik bernama Putri Pandan Berduri meminta kesediaan dirinya untuk dijadikan menantu. Jenang Perkasa tentu saja tak mau membuang kesempatan emas itu. Ia segera mengangguk setuju sambil tersenyum memandang Batin Lagoi.
Beberapa hari kemudian Batin Lagoi menikahkan Putri Pandan Berduri dengan Jenang Perkasa. Pesta besar digelar untuk merayakan pernikahan putri semata wayangnya itu. Seluruh warga Pulau Bintan diundang untuk hadir. Para undangan merasa senang melihat Putri Pandan Berduri bersanding dengan Jenang Perkasa yang terlihat sangat serasi.
Putri Pandan Berduri hidup bahagia dengan Jenang Perkasa. Apalagi tak lama kemudian, Batin Lagoi yang merasa sudah tua mengangkat menantunya itu untuk menggantikan dirinya menjadi pemimpin di Pulau Bintan. Jenang Perkasa yang memang anak seorang pemimpin itu rupanya mewarisi bakat kepemimpinan ayahnya. Ia mampu menjadi pemimpin yang disegani sekaligus dicintai rakyatnya. Ia juga menolak untuk kembali ketika warga Pulau Galang yang mendengar cerita tentang dirinya memintanya untuk menggantikan kakaknya.
Pernikahan Putri Pandan Berduri dengan Jenang Perkasa dikaruniai tiga orang anak yang diberi nama dengan adat kesukuan. Batin Mantang menjadi kepala suku di utara Pulau Bintan, Batin Mapoi menjadi kepala suku di barat Pulau Bintan, dan Kelong menjadi kepala suku di timur Pulau Bintan. Adapun adat suku asal mereka yaitu Suku Laut tetap menjadi pedoman bagi mereka. Hingga kini Putri Pandan Berduri dan Jenang Perkasa yang telah lama tiada masih tetap dikenang oleh Suku Laut di perairan Pulau Bintan.