Bisnis Toko Online 468x60

Kisah Sangkuriang

Sangkuriang menendang sampan besar yang telah dibuatnya. Sampan itu melayang dan jatuh tertelungkup, lalu menjadi sebuah gunung yang bernama Tangkuban Perahu.

Timun Mas

Ia pun melemparkan senjatanya yang terakhir, segenggam terasi udang. Lagi-lagi terjadi keajaiban. Sebuah danau lumpur yang luas terhampar. Raksasa terjerembab ke dalamnya. Tangannya hampir menggapai Timun Mas. Tapi danau lumpur itu menariknya ke dasar. Raksasa panik. Ia tak bisa bernapas, lalu tenggelam.

Cindelaras

Dua ekor ayam itu bertarung dengan gagah berani. Tetapi dalam waktu singkat, ayam Cindelaras berhasil menaklukkan ayam sang Raja. Para penonton bersorak sorai mengelu-elukan Cindelaras dan ayamnya.

Si Kelingking

Kelingking pun merasa senang melihat istrinya bahagia karena mempunyai suami yang gagah dan tampan. Akhirnya, mereka pun hidup bahagia. Si Kelingking memimpin negerinya dengan arif dan bijaksana, dan rakyatnya hidup damai dan sejahtera.

Danau Toba

Setelah petani mengucapkan kata-kata tersebut, seketika itu juga anak dan istrinya hilang lenyap tanpa bekas dan jejak. Dari bekas injakan kakinya, tiba-tiba menyemburlah air yang sangat deras.

Tuesday, February 13, 2018

Asal - Usul Buleleng Dan Singaraja

Di Bali, hidup seorang raja yang bergelar Sri Bagening. Sang Ra­ja memiliki banyak istri, dan istri ter­­­akhirnya bernama Ni Luh Pasek. Ni Luh Pasek berasal dari Desa Panji, dan ma­­sih ke­­turunan Kyai Pasek Gobleng. Su­a­tu waktu, Ni Luh Pasek mengandung. Oleh suami­nya, ia dititipkan kepada Kyai Je­lan­tik Bogol. Tak berapa lama, anaknya pun lahir. Anak itu diberi nama I Gede Pa­sekan. I Gede Pasekan mempunyai wi­­ba­wa besar sehingga sangat dicintai dan dihormati oleh pemuka masyarakat mau­pun masyarakat biasa.
Suatu hari, ketika usianya menginjak dua puluh tahun, ayahnya berkata pada­nya, “Anakku, sekarang pergilah engkau ke Den Bukit di daerah Panji.”
“Mengapa ayah?”
“Karena di sanalah tempat kelahiran ibumu.”
Sebelum berangkat, ayah angkatnya mem­berikan dua buah senjata bertuah, yaitu sebilah keris bernama Ki Baru Se­mang dan sebatang tombak bernama Ki Tunjung Tutur. Dalam perjalanannya, I Gede Pasekan diiringi oleh empat puluh pe­nga­wal yang dipimpin Ki Dumpiung dan Ki Dosot. Ketika sampai di daerah yang di­­­­­­­sebut Batu Menyan, mereka bermalam dengan dijaga ketat oleh para pengawal secara bergantian.


Saat tengah malam, tiba-tiba datang makhluk ajaib penghuni hutan. Dia meng­ang­kat I Gede Pasekan ke atas pun­daknya se­hingga I Gede Pasekan dapat me­lihat pe­­man­dangan lepas ke lautan dan da­ratan yang ter­­bentang di hadapannya. Ke­tika dia me­­man­dang ke arah timur dan barat laut, ia me­li­hat pulau yang amat jauh. Ketika me­­li­hat ke arah selatan pemandangannya di­­halangi oleh gunung. Setelah makhluk itu pergi kemudian terdengar bisikan.
“I Gusti, sesungguhnya apa yang te­lah engkau lihat akan menjadi daerah ke­kuasaanmu.”
Keesokan harinya rombongan itu me­­lan­jutkan perjalanan. Meski sulit dan pe­nuh rintangan akhirnya rombongan I Gede Pasekan berhasil mencapai tujuan, yaitu Desa Panji, tempat kelahiran ibunya.
Suatu hari, ada sebuah perahu Bugis yang terdampar di pantai Panimbangan.Warga setempat yang dimintai tolong tak mampu mengangkatnya.
Keesokan harinya orang Bugis pemilik perahu itu meminta tolong pada I Gede Pasekan.
“Tolonglah kami, Tuan. Jika Tuan ber­hasil mengangkat perahu kami, se­bagian muatan itu akan kami serahkan kepada Tuan sebagai upahnya.”
“Kalau itu keinginan kalian, saya akan berusaha mengangkat perahu itu,” jawab I Gede Pasekan.
I Gede Pasekan segera memusatkan pikiran. Dengan kekuatan gaibnya, perahu yang kandas itu berhasil diangkatnya. Se­ba­gai ungkapan rasa terima kasih, orang Bugis itu memberikan hadiah berupa se­tengah dari isi perahu itu kepada I Gede Pasekan. Di antara hadiah itu terdapat dua buah gong besar. Sejak saat itu I Gede Pasekan menjadi orang kaya dan bergelar I Gusti Panji Sakti.
Kekuasaan I Gede Pasekan mulai me­­­­luas dan menyebar sampai ke mana-mana. Dia pun mendirikan kerajan baru di Den Bukit. Kira-kira abad ke-17, ibukota ke­rajaan itu disebut orang dengan nama Su­ka­sada. Kerajaaan I Gede Pasekan itu ber­­kem­bang hingga ke utara. Daerah itu ba­­nyak ditumbuhi pohon buleleng. Oleh karena itu, pusat kerajaan beralih ke wi­la­­­yah itu. Wilayah itu pun diberi nama Buleleng.
Di Buleleng dibangun sebuah istana megah yang diberi nama Singaraja. Nama ini menunjukkan bahwa penghuninya ada­lah seorang raja yang gagah perkasa lak­sana singa. Namun, ada pendapat yang mengatakan bahwa nama Singaraja arti­nya tempat persinggahan raja. Barangkali ketika sang Raja masih di Sukasada, se­ring singgah di sana. Jadi, kata Singaraja berasal dari kata singgah raja.

Asal Mula Danau Batur

Tersebutlah sepasang suami istri yang hidup di Bali pada zaman dahulu. Keduanya telah lama berumah tangga, namun belum juga dikaruniai anak. Serasa tak putus-putusnya mereka berdoa dan meminta dikaruniai anak. Doa dan permintaan mereka akhirnya dikabulkan Sang Hyang Widi Wasa. Sang istri mengandung dan kemudian melahirkan seorang bayi lelaki.
Bayi lelaki itu tumbuh sangat cepat. Ia sangat kuat nafsu makannya. Meski masih bayi, nafsu makannya telah setara dengan sepuluh orang dewasa. Seiring bergulirnya sang waktu, si bayi berubah menjadi kanak-kanak. Sangat besar tubuhnya dan kian meningkat kuat nafsu makannya. Ia pun diberi nama Kebo Iwa, paman kerbau makna namanya.
Bertambah hari bertambah besar tubuh Kebo Iwa. Bertambah kuat pula nafsu makannya. Sehari kebutuhan makannya sama dengan kebutuhan makan seratus orang dewasa. Kedua orangtuanya benar-benar kewalahan memenuhi hasrat makan Kebo Iwa.

Kebo Iwa terkenal pemarah. Kemarahannya mudah meledak, terutama jika ia tidak mendapatkan makanan yang cukup. Jika ia telah marah, ia akan merusak apa saja yang ditemuinya. Ia biasa merusak rumah-rumah penduduk. Bahkan, pura tempat ibadah pun tanpa takut-takut akan dihancurkannya jika kemarahannya telah meninggi. Penduduk desa akan sangat ketakutan jika mendapati Kebo Iwa telah marah. Namun demikian, sesungguhnya Kebo Iwa bersedia membantu penduduk desa yang membutuhkan bantuan tenaganya. Ia bersedia membuatkan sumur, memindahkan rumah, meratakan tanah berbukit-bukit, membendung sungai, atau mengangkut batu-batu besar. Ia akan cepat melaksanakan pekerjaan yang sangat berat dilakukan kebanyakan manusia itu. Tentu saja ia meminta imbalan berupa makanan dalam jumlah yang cukup untuk membuatnya kenyang.
Selama para penduduk yang kebanyakan menjadi petani itu mendapatkan hasil panen yang cukup, penduduk masih bisa bergotong royong memberikan makanannya untuk Kebo Iwa. Namun, ketika terjadi musim paceklik', penduduk mulai kesulitan dan kewalahan untuk menyediakan makanan untuk Kebo Iwa.
Penduduk menjadi sangat cemas. Mereka tidak hanya cemas memikirkan cara mencari bahan makanan untuk keluarga masing-masing, mereka juga cemas memikirkan Kebo Iwa. Apa yang harus diberikan kepada Kebo Iwa jika mereka tidak mempunyai bahan makanan? Kebo Iwa pasti tidak mau mengerti keadaan yang tengah mereka alami. Bagi Kebo Iwa, jika ia mendapatkan makanan yang cukup, maka ia akan diam. Namun, jika tidak, ia akan mengamuk sejadi-jadinya.
Warga desa lantas berkumpul untuk membahas masalah yang mereka hadapi berkenaan dengan Kebo Iwa itu. Mereka merencanakan suatu siasat untuk menghadapi Kebo Iwa. Jika memungkinkan, melenyapkan Kebo Iwa yang sangat meresahkan itu. Setelah berembuk, warga desa akhirnya menemukan cara untuk mewujudkan rencana mereka.
Segenap warga desa bergotong royong untuk mengumpulkan makanan. Sedikit demi sedikit makanan akhirnya terkumpul hingga cukup jumlahnya untuk menjadi santapan Kebo Iwa. Sebagian warga juga bergotong royong untuk mengumpulkan batu-batu kapur. Setelah makanan dan batu kapur tersedia, Kepala Desa dengan diiringi beberapa warga lantas menemui Kebo Iwa

Kebo Iwa tengah bersantai setelah menyantap beberapa ekor hewan ternak milik warga desa. Ia sedikir terperanjat melihat beberapa orang mendatanginya. Katanya, "Mau apa kalian ke sini? Apa kalian mempunyai makanan yang cukup membuatku kenyang? Aku masih lapar!"
"Kami mempunyai makanan yang lebih dari cukup untuk membuatmu kenyang,"jawab Kepala Desa. "Kami akan memberikan semuanya kepadamu asal engkau bersedia membantu kami."
Mendengar ada makanan dalam jumlah yang cukup untuk membuat perutnya kenyang, Kebo Iwa langsung bangkit dari rebahannya dan berkata, "Aku tentu saja mau membantu kalian jika kalian memberiku makanan. Apa yang bisa kubantu?"
Kepala Desa lantas menjelaskan perihal banyaknya rumah warga yang telah rusak akibat amukan Kebo Iwa.
"Itu karena kalian tidak bersedia memberiku makanan," sahut Kebo Iwa tanpa merasa bersalah. "Jika kalian memberiku makanan, niscaya aku pun tidak akan menghancurkan rumah kalian."
"Seperti yang engkau ketahui, semua itu diakibatkan kegagalan panen yang kami alami. Kegagalan panen itu disebabkan ketiadaan air karena musim kemarau yang terus berkepanjangan ini;" kata Kepala Desa. "Padahal, di dalam tanah ini sebenarnya terdapat banyak air. Sangat meIimpah jumlahnya. Oleh karena itu kami meminta bantuanmu untuk membuatkan sumur yang sangat besar! Air dari sumur besar itu akan kami gunakan untuk mengairi sawah-sawah kami. Jika tanaman-tanaman kami cukup mendapat air, niscaya kegagalan panen dapat kami tanggulangi. Kami juga tidak lagi kesulitan untuk memberimu makanan. Berapa pun juga jumlah makanan yang engkau butuhkan, kami pasti sanggup untuk memenuhinya.”
Kebo Iwa sangat gembira mendengar rencana Kepala Desa. "Baiklah," katanya. "Itu rencana yang sangat baik. Aku tentu saja bersedia membantu kalian:'
Kebo Iwa lantas mulai bekerja. Ia mendirikan beberapa rumah seperti yang dikehendaki Kepala Desa. Ia lantas menggali tanah di tempat yang ditentukan Kepala Desa. Tenaganya yang sangat sangat besar mulai tercipta. Sementara Kebo Iwa terus menggali, warga desa lantas mengumpulkan batu-batu kapur di dekat tempat Kebo Iwa sedang menggali tanah.
Mengetahui warga desa mengumpulkan batu kapur, Kebo Iwa merasa keheranan. "Untuk apa kalian mengumpulkan batu kapur sebanyak itu?" tanyanya.
"Setelah engkau selesai membuat sumur besar, kami akan membangunkan rumah untukmu. Rumah yang besar lagi sangat indah.” jawab Kepala Desa. "Rumah untukmu yang sangat besar itu tentu membutuhkan batu kapur yang sangat banyak, bukan?"
Kebo Iwa sangat gembira mendengar jawaban Kepala Desa. Ia makin bersemangat menggali tanah. Berhari-hari ia bekerja keras. Semakin bergulirnya waktu semakin besar lagi dalam sumur yang dibuat Kebo Iwa. Air mulai memancar keluar hingga terciptalah sebuah kolam besar. Namun, Kepala Desa terus saja memintanya menggali tanah. Kebo Iwa menurut karena terus dijanjikan akan mendapatkan makanan yang sangat banyak dan juga dibuatkan rumah yang sangat besar. Lubang di tanah kian membesar lagi semakin dalam. Air yang memancar keluar juga semakin banyak.
Kebo Iwa terus bekerja hingga ia kelelahan dan juga kelaparan. Ia meminta waktu untuk beristirahat. "Mana makanan untukku?" teriak Kebo Iwa kemudian.
Warga desa berdatangan membawa makanan untuk Kebo Iwa. Kebo Iwa sangat gembira mendapati makanan dalam jumlah yang sangat banyak itu. Ia makan dengan amat lahap. la terus makan hingga perutnya kekenyangan. Setelah perutnya kekenyangan, Kebo Iwa mengantuk. Sebentar kemudian ia telah tertidur dengan mendengkur. Suara dengkurannya sangat keras.
Setelah mendapati Kebo Iwa telah tertidur, Kepala Desa lantas memerintahkan segenap warga untuk melemparkan batu kapur ke dalam lubang galian yang dibuat Kebo Iwa. Beramai- ramai warga memasukkan batu-batu kapur, sama sekali tanpa disadari Kebo Iwa yang masih terlelap dalam tidurnya.
Air semakin banyak memancar dari dalam tanah dan batu kapur pun semakin banyak dimasukkan warga ke dalam lubang galian. Akibatnya hidung Kebo Iwa menjadi tersumbat. Kebo Iwa tersedak dan terbangun. Namun, terlambat baginya. Air makin deras memancar dan batu-batu kapur terus dilemparkan ke dalam lubang galian besar yang dibuatnya. Meski mempunyai tenaga yang sangat kuat, Kebo Iwa tidak berdaya pada akhirnya. Kebo Iwa akhirnya menghembuskan napas terakhirnya di dalam lubang galian besar yang dibuatnya sendiri.
Air terus memancar hingga meluap dan membanjiri desa tempat tinggal Kebo Iwa. Desa-desa di sekitar desa itu pun turut terbanjiri. Sebuah danau yang besar akhirnya tercipta. Danau itu disebut Danau Batur. Timbunan tanah yang di sekitar danau itu kemudian berubah menjadi gunung dan disebut Gunung Batur.

Saturday, February 3, 2018

Rawa Pening

Pada zaman dahulu, hidup seorang wanita bernama Endang Sawitri yang tinggal di desa Ngasem. Endang Sawitri sedang hamil, dan kemudian dia pun melahirkan. Anehnya, yang dilahirkan bukanlah bayi biasa, melainkan seekor naga. Naga tersebut kemudian diberi nama Baru Klinting. Baru Klinting adalah seekor naga yang unik. Dia bisa berbicara seperti manusia.

Saat usianya menginjak remaja, Baru Klinting bertanya kepada ibunya. Dia ingin tahu apakah dia memiliki seorang ayah, dan dimana ayahnya berada. Endang Sawitri menjawab bahwa ayahnya adalah seorang raja, yang sedang bertapa di sebuah gua, di lereng Gunung Telomoyo.

Pada suatu hari, Endang Sawitri berkata bahwa sudah tiba saatnya bagi Baru Klinting untuk menemui ayahnya. Dia memberikan sebuah klintingan kepada Baru Klinting. Benda itu adalah peninggalan dari ayah Baru Klinting, dan dapat menjadi bukti bahwa Baru Klinting adalah benar-benar anaknya

Baru Klinting berangkat ke pertapaan untuk mencari ayahnya. Saat sampai di pertapaan Ki Hajar Salokantara, dia pun bertemu dengan Ki Hajar Salokantara dan melakukan sembah sujud di hadapannya.

Baru Klinting menjelaskan kepada Ki Hajar Salokantara bahwa dia adalah anaknya, sambil menunjukkan klintingan yang dibawanya. Ki Hajar Salokantara kemudian berkata bahwa dia perlu bukti lagi. Dia meminta Baru Klinting untuk melingkari Gunung Telomoyo. Jika dia bisa melakukannya, maka benar dia adalah anaknya. Ternyata Baru Klinting dapat dengan mudah melingkari gunung tersebut. Ki Hajar Salokantara mengakui bahwa memang benar Baru Klinting adalah anaknya. Dia lalu memerintahkan Baru Klinting untuk bertapa di dalam hutan yang terdapat di lereng Gunung Telomoyo.

Saat Baru Klinting sedang bertapa di dalam hutan, datanglah para penduduk dari desa Pathok. Mereka sedang berburu, mencari hewan untuk dijadikan santapan pesta sedekah bumi yang mereka rayakan setelah panen usai. Karena tidak dapat menemukan seekor hewan pun, mereka menangkap naga besar yang sedang bertapa itu, dan memasaknya.

Arwah Baru Klinting menjelma menjadi seekor anak kecil yang kumal. Anak kecil tersebut datang ke pesta yang diadakan penduduk desa Pathok, dan meminta untuk ikut menikmati hidangan yang disajikan. Namun, para penduduk menolak kehadiran anak yang kumal itu. Bahkan, Baru Klinting diusir dan ditendang. Dengan marah dan sakit hati, Baru Klinting meninggalkan tempat tersebut. Ia kemudian bertemu dengan seorang nenek tua yang memperlakukannya dengan sangat baik. Dia diberi makan, dan diperlakukan seperti seorang tamu yang terhormat. Baru Klinting kemudian berpesan kepada nenek tersebut agar segera menyiapkan lesung jika nantinya terdengar suara gemuruh.

Baru Klinting kembali ke pesta warga desa Pathok. Warga desa tersebut tetap berusaha mengusirnya. Baru Klinting kemudian menancapkan sebuah lidi ke tanah. Dia kemudian menantang warga desa untuk mencabutnya. Namun, tidak ada yang mampu untuk mencabutnya. Baru Klinting kemudian mencabut lidi tersebut sendiri, dan muncul mata air yang sangat deras, diikuti oleh suara gemuruh.

Air yang muncul dari mata air membanjiri desa tersebut dan terbentuklah Rawa Pening. Seluruh penduduk desa tenggelam, kecuali nenek baik hati yang telah memperlakukan Baru Klinting dengan baik. Nenek tersebut selamat karena masuk ke dalam lesung, sesuai dengan petunjuk yang telah diberikan oleh Baru Klinting