Bisnis Toko Online 468x60

Kisah Sangkuriang

Sangkuriang menendang sampan besar yang telah dibuatnya. Sampan itu melayang dan jatuh tertelungkup, lalu menjadi sebuah gunung yang bernama Tangkuban Perahu.

Timun Mas

Ia pun melemparkan senjatanya yang terakhir, segenggam terasi udang. Lagi-lagi terjadi keajaiban. Sebuah danau lumpur yang luas terhampar. Raksasa terjerembab ke dalamnya. Tangannya hampir menggapai Timun Mas. Tapi danau lumpur itu menariknya ke dasar. Raksasa panik. Ia tak bisa bernapas, lalu tenggelam.

Cindelaras

Dua ekor ayam itu bertarung dengan gagah berani. Tetapi dalam waktu singkat, ayam Cindelaras berhasil menaklukkan ayam sang Raja. Para penonton bersorak sorai mengelu-elukan Cindelaras dan ayamnya.

Si Kelingking

Kelingking pun merasa senang melihat istrinya bahagia karena mempunyai suami yang gagah dan tampan. Akhirnya, mereka pun hidup bahagia. Si Kelingking memimpin negerinya dengan arif dan bijaksana, dan rakyatnya hidup damai dan sejahtera.

Danau Toba

Setelah petani mengucapkan kata-kata tersebut, seketika itu juga anak dan istrinya hilang lenyap tanpa bekas dan jejak. Dari bekas injakan kakinya, tiba-tiba menyemburlah air yang sangat deras.

Tuesday, June 21, 2016

Legenda Gunung Batu Hapu

Tidak berapa jauh dari kota Rantau, ibu kota Kabupaten Tapin Propinsi Kalimantan Selatanterdapat dua desa bernama Tambarangan dan Lawahan. Menurut cerita orang tua-tua, dahulu kala di perbatasan kedua desa itu hiduplah seorang janda miskin bersama putranya. Nama janda itu Nini Kudampai, sedangkan nama putranya Angui.
Mereka tidak mempunyai keluarga dekat sehingga tidak ada yang membantu meringankan beban anak beranak itu. Walaupun demikian, Nini Kudampai tidak pernah mengeluh. Ia bekerja sekuat tenaga agar kehidupannya dengan anaknya terpenuhi.
Saat itu, Angui masih kecil sehingga ia masih senang bermain, belum ada kesadaran untuk menolong ibunya bekerja. Angui tidak mempunyai teman sebaya sebagai teman bermain. Sebagai gantinya, ia ditemani tiga ekor hewan kesayangannya, yaitu ayam jantan putih, babi putih, dan seekor anjing yang juga putih bulunya. Ke mana pun ia pergi, ketiga ekor hewan kesayangan itu selalu menyertainya. Mereka tampak sangat akrab.
Pada suatu hari, ketika Angui sedang bermain di halaman rumah, melintaslah seorang saudagar Keling. Saudagar itu amat tertarik kepada Angui setelah menatap Angui yang sedang bermain. Ia berdiri tidak begitu jauh dari tempat Angui bermain. Angui terus diamatinya. Dari hasil pengamatan itu, ia mendapatkan sesuatu yang menonjol pada penampilan Angui. Air muka Angui selalu jernih dan cerah. Ubun-ubunnya kelihatan berlembah. Dahinya lebar dan lurus. Jari-jarinya panjang dan runcing ke ujung. Di ujung-ujung jari itu terdapat kuku laki yang bagus bentuknya. Satu hal yang memikat adalah adanya tahi lalat yang dimiliki Angui. Tahi lalat seperti itu dinamakan kumbang bernaung.
Saudagar Keling mendapat firasat bahwa tanda-tanda fisik yang dimiliki Angui menunjukkan nasib balk atau keberuntungannya. Barang siapa memelihara anak itu akan bernasib mujur.
“Aku harus mendapatkan anak itu,” katanya dalam hati. Tanpa menyia-nyiakan waktu, saudagar itu segera menemui Nini Kudampai, sang ibu. Dengan keramahan dan kefasihan lidahnya berbicara selain janji-janji yang disampaikan, ia dapat menaklukkan hati Nini Kudampai. Nini Kudampai tidak keberatan jika Angui diasuh dan dipelihara saudagar itu. Angui pun amat tertarik untuk mengikuti saudagar itu pulang ke negerinya.
“Anak lbu tidak akan hilang,” kata saudagar itu meyakinkan. “Percayalah Bu, suatu saat kelak ia pasti kembali menemui ibunya, bukan sebagai Angui yang sekarang ini, tetapi sebagai orang ternama.”
Walaupun Nini Kudampai telah merelakan kepergian anaknya, ia tidak dapat menyembunyikan rasa harunya ketika akan berpisah. Kesedihan dan keharuan kian bertambah ketika Angui meminta agar ketiga hewan teman bermainnya selama ini dipelihara sebaik-baiknya oleh ibunya.
“Bu, tolong Ibu jaga babi putih, anjing putih, dan ayam putihku. Jangan Ibu sia-siakan!” kata Angui sambil mencium tangan ibunya dengan linangan air mata.
Saudagar Keling pulang ke negerinya dan tiba dengan selamat bersama Angui. Angui diasuh dan dipeliharanya, tak ubahnya memelihara anak kandung. Angui hidup bermanja-manja karena kehendaknya selalu dikabulkan orang tua asuhnya. Kemanjaan itu berakibat buruk kepadanya. Ia lupa diri dan menjadianak nakal, pemalas, serta pemboros.
Saudagar Keling sering tercenung seorang diri.
“Firasatku ternyata salah,” katanya dalam hati, “rupanya keadaan lahir belum tentu mencerminkan sifat dan watak seseorang.”
Saudagar Keling merasa tidak mampu lagi menjadi orang tua asuh Angui. Kehadiran Angui dalam keluarga itu hanya menyusahkannya saja. Tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh selain mengusir Angui. Saudagar Keling itu tidak mau memeliharanya lagi.
Angui amat menyesali kelakuannya selama ini. Apa dayanya karena sesal kemudian tiada guna. Ia hidup luntang-lantung tiada arah. Kesempatan baik telah disia-siakannya.
Syukurlah, lambat laun Angui mampu mengatasi keputusasaannya.
“Aku harus menjadi manusia yang berhasil,” katanya penuh tekad.
Ia menanggalkan sikap malasnya dan mau bekerja membanting tulang. Ia tidak merasa malu melakukan pekerjaan apa pun, asal pekerjaan itu halal.
Beberapa tahun kemudian, berkat kerja keras dan kejujurannya dalam bekerja, is menjadi seorang saudagar kaya. Kekayaannya tidak kalah dibanding kekayaan saudagar Keling yang pernah menjadi orang tua asuhnya. Ketenarannya melebihi saudagar Keling itu.
Akhirnya, kekayaan Angui melebihi kekayaan siapa pun di negeri Keling itu. Namanya makin terkenal setelah is berhasil menyunting putri raja Keling menjadi istrinya. Sejak menjadi menantu raja, Angui mendapat nama baru, yakni Bambang Padmaraga.
Meskipun sudah kaya, Angui alias Bambang Padmaraga sering terkenang kampung halamannya. Ia amat rindu kepada ibunya, Nini Kudampai. Ia juga teringat pada babi putih, anjing putih, dan ayam putih, ketiga teman bermain yang disayanginya. Selain itu, ia ingin memperkenalkan istrinya kepada ibunya dan menunjukkan keberhasilannya di perantauan. Ia ingin membahagiakan ibunya yang bertahun-tahun ditinggalkannya tanpa berita.
Pada suatu hari, Angui mempersiapkan sebuah kapal yang lengkap dengan anak buahnya. Tidak lupa pula bekal untuk perjalanan jauh dan cendera mata, Inang pengasuh bagi istrinya turut serta dalam pelayaran ke negerinya. Ia dan istrinya menempati sebuah bilik khusus di dalam kapal yang ditata begitu apik seperti dalam sebuah istana.
Berita kembalinya Angui dan istrinya, putri raja Keling, dengan naik kapal segera tersiar ke seluruh penjuru. Nini Kudampai pun mendengar dengan penuh rasa syukur dan sukacita. Apalagi kapal putranya itu konon merapat dan bersandar tidak berapa jauh dari kediamannya.
Nini Kudampai segera berangkat ke pelabuhan dengan menggiring ketiga hewan piaraan teman bermain Angui, yaitu babi putih, anjing putih, dan ayam putih. Ia berharap agar Angui segera mengenalinya dengan melihat ketiga hewan itu.
Nini Kudampai pun berseru melihat Angui berdiri berdampingan dengan istrinya di atas kapal, “Anakku!”
Sebenarnya, Angui mengenali ibunya dan ketiga hewan piaraannya. Akan tetapi, ia malu mengakuinya di hadapan istrinya karena penampilan ibunya sangat kumal. Jauh berbeda dengan ia dan istrinya. Ia memalingkan muka dan memberi perintah kepada anak buahnya, “Usir perempuan jembel itu!”
Hancur Iuluh hati Nini Kudampai diusir dan dipermalukan putra kandung yang dilahirkan dan dibesarkannya. Angui mendurhakainya sebagai ibu kandung. Ibu yang malang itu segera pulang ke rumah. Tiba di rumah, is memohon kepada Yang Mahakuasa agar Angui menerima kutukan.
Belum pecah riak di bibir, begitu selesai Nini kudampai menyampaikan permohonan kepada Tuhan, topan pun mengganas. Petir dan halilintar menggelegar membelah bumi. Kilat sabung-menyabung dan langit mendadak gelap gulita. Hujan deras bagai dituang dari langit. Gelombang menggulung kapal bersama Angui dan istri serta anak buahnya. Kapal dan segenap isinya itu terdarnpar di antara Tambarangan dan Lawahan. Akhirnya, kapal dan isinya berubah menjadi batu.
Itulah sekarang yang dikenal sebagai Gunung Batu Hapu, yang telah dibenahi pemerintah menjadi objek pariwisata. Setiap saat, terutama hari libur, tempat itu banyak dikunjungi orang.

Pangeran Biawak

Dahulu di pedalaman Kalimantan ada sebuah kerajaan. Rakyat kerajaan itu hidup dengan kemakmuran yang melimpah, tentram dan damai karena kerajaan itu diperintah oleh seorang raja yang adil dan bijaksana.

Raja mempunyai 7 orang putri, Semuanya belum bersuami. Lalu raja mengadakan sayembara. Barang siapa dapat membangun istana megah di seberang sungai maka merekalah yang akan beroleh kesempatan menjadi menantunya.

Pengumuman pun disebar ke pelosok negeri. Hasilnya luar biasa. Ada enam orang pemuda yang menyanggupi permintaan raja. Keenam pemuda itu bekerja keras siang dan malam, hasilnya luar biasa. Dalam tempo yang tidak terlalu lama berdirilah sebuah istana yang megah di seberang sungai, lengkap dengan isinya dan tanah lapang yang mengelilinginya.

Karena istana tersebut letaknya berada di seberang sungai. Raja mengadakan sayembara kembali untuk dibuatkan jembatan agar orang yang hendak ke sana tidak usah naik perahu cukup berjalan kaki saja. Namun sungguh aneh hingga berhari-hari bahkan berminggu-minggu tidak ada seorangpun yang menyanggupi sayembara itu.

Tiba-tiba entah darimana datangnya ada seorang nenek tua dan seekor biawak hadir di ruang persidangan.

"Hamba meminang putri Paduka untuk anak hamba."
"Apa?" teriak sang Raja kaget.
"Benar Paduku, biarpun kami berasal dari keluarga miskin kami sanggup mengikuti sayembara itu?" kata perempuan tua itu dengan mantap.
"Oh, ya tidak masalah." kata Raja." sayembara ini terbuka untuk siapa saja. Kaya miskin, tampan jelek tidak masalah, kamu tidak memandang rupa."
"Benarkah Paduka tidak mamandang rua?"

"Benar ucapanku adalah jaminan. Pantang bagi raja menjilat ludah sendiri." sang raj menegaskan." Tetapi perlu kau ingat bila anakmu gagal maka akan diberi hukuman pancung!"
"Nah, anakku Kau sudah mendengar sendiri perkataan sang raj tadi."
Tak disangka biawak yang diajak bicara adalah tidak lain anaknya sendiri.

Semua orang yang berada di ruang persidangan menjadi kaget. Tidak disangka jika anak yang dimaksud perempuan tua itu adalah biawak itu. Mereka semua mengira bahwa anaknya berada di rumah.

Sepeninggal nenek tua lalu raja memanggil tujuh orang putrinya untuk diajak bermusyawarah. Masing-masing ditanya satu-satu siapa yang mau dipinang oleh seekor biawak. Enam putri menolak mentah-mentah tinggal satu orang putri yang belum menjawab yaitu si putri bungsu. Kini sang ibu permaisuri menegaskan untuk bertanya kembali. Si putri bingsu itu langsung menjawab "Ucapan raja pantang ditarik kembali. Demi kehoramatan ayahanda selaku raja negeri ini, saya sanggup menerima pinangan Biawak itu."
Permaisuri langsung jatuh pingsan karena jawaban dari putri bungsu tersebut. Keenam putri yang lain malah terheran-heran. Keesokan harinya semua orang kaget ternyata biawak itu sudah menyelesaikan pekerjaannya bahkan dia mampu menyelesaikannya hanya dalam tempo kuarng dari satu malam.

Rajapun kemudian menepati janjinya untuk disandingkan dengan calon menantunya. Keenam pasangan tersebut terlihat serasi kecuali hanya satu pasang saja yaitu putri bungsu yang cantik bersanding dengan seekor biawak.

Pada saat malam hari tiba,Keenam pasangan tersebut terdengar canda dan tawa. Namun hanya kamar putri bungsu saja yang tidak terdengar canda ria seperti hal yang lain. Ketika malam semakin larut Putri bungsu semakin mengantuk, Biawak yang yang menjadi suaminya ditinggal begitu saja di sudut kamar. Ia segera tertidur pulas. Namun di tengah malam ketika ia terjaga, ia kaget bukan kepalang. di sampingnya telah berbaring sorang seorang pemuda tampan.

Ia memekik sekuat-kuatnya. Para pengawal istana segera memriksa ke dalam putri bungsu namun setelah di jumpai tidak ada satupun yang dilihat kecuali seekor Biawak tersebut.
Lalu semua pengawalpun pergi karena menganggap sudah aman. Namun Putri Bungsu masih terheran-heran. Ia yakin sedang tidak bermimpi. Tapi kemana ya perginya pemuda tampan itu.

Pada malam ketiga sebelunya putri untuk tdak tidur pada siang harinya dengan pulas agar nanti malam ia bisa bangun dengan pura-pura tidur nyenyak. Ternyata benar tidak lama kemudian terasa ada benda berat merebahkan diri disampingnya. Putri bungsu segera membalik. Benar saja pemuda yang dua malam berturut-turut hadir di kamarnya kini malah makin berani mendekatinya.

Dengan mata beringas putri Bungsu berkata," Hai lelaki asing ! sungguh kau tak tahu malu, berani masuk ke kamar orang. walau suamiku seekor binatang ia jauh lebih baik dibanding kau yang tidak tahu tatakrama !"

Habis memaki-maki putri bungsu langsung menghunuskan pisau ke arahnya tiba-tiba dengan mudahnya lelaki itu menagkisnya sehingga pisau itu terlempar ke lantai. Kini sang putri malah berada didalam rangkulan ketat si pemuda tampan.

"Sabar istriku sebenarnya aku adalah suamimu sendiri karena waktu itu ada beberapa hal akhirnya aku dikutuk oleh dewa senhingga menjadi seekor biawak."

Putri bungsu langsung menganguk-angguk mendengar penuturan lelaki itu. ketika rangkulan pemuda di lepaskan. Putri Bungsu segera melompat ke sudut kamar, di sana ia menemukan kulit biawak. Sarungan yang biasa dimasuki suaminya itu segera dibawa ke luar istana. Lalu dibakar sampai hangus musnah. Lalu ia kembali ke kamarnya lagi. Di sana ia mendapati seorang perjaka tampan yang lagi gerah, karena sarungan yang biasa dia pakai kini hangus terbakar, selanjutnya ia pulih sedia kala.

Keajaiban itu membuat iri keenam saudaranya. Hampir bersamaan mereka menyuruh suaminya untuk berdagang yang jauh. Lalu mereka memelihara seekor biawak liar di dalam kamarnya. Mereka berharap kejadian serupa yang dialami adiknya.

Tapi apa yang terjadi? di malam pertama mereka sudah menjerit-jerit kesakitan karena di gigit oleh biawak liar tersebut. Akhirnya biawak itu dibuang ke sungai.

Esok harinya mereka bersama-sama menemui adik mereka tercinta yaitu si Putri Bungsu. Mereka merangkul adiknya dengan penuh rasa haru. Mereka sadar bahwa adiknya itu bersuamikan Biawak bukan karena keinginan sendiri melainkan demi berbakti dan menjaga kehormatan ayahandanya. Niat tulus itu akhirnya membuahkan nasib yang baik dan membahagiakan Putri Bungsu.

Kanjeng Roro Kidul

Di suatu masa, hiduplah seorang putri cantik bernama Kadita. Karena kecantikannya, ia pun dipanggil Dewi Srengenge yang berarti matahari yang indah. Dewi Srengenge adalah anak dari Raja Munding Wangi. Meskipun sang raja mempunyai seorang putri yang cantik, ia selalu bersedih karena sebenarnya ia selalu berharap mempunyai anak laki-laki. Raja pun kemudian menikah dengan Dewi Mutiara, dan mendapatkan putra dari perkawinan tersebut. Maka, bahagialah sang raja.
Dewi Mutiara ingin agar kelak putranya itu menjadi raja, dan ia pun berusaha agar keinginannya itu terwujud. Kemudian Dewi Mutiara datang menghadap raja, dan meminta agar sang raja menyuruh putrinya pergi dari istana. Sudah tentu raja menolak. "Sangat menggelikan. Saya tidak akan membiarkan siapapun yang ingin bertindak kasar pada putriku", kata Raja Munding Wangi. Mendengar jawaban itu, Dewi Mutiara pun tersenyum dan berkata manis sampai raja tidak marah lagi kepadanya. Tapi walaupun demikian, dia tetap berniat mewujudkan keinginannya itu.

Pada pagi harinya, sebelum matahari terbit, Dewi Mutiara mengutus pembantunya untuk memanggil seorang dukun. Dia ingin sang dukun mengutuk Kadita, anak tirinya. "Aku ingin tubuhnya yang cantik penuh dengan kudis dan gatal-gatal. Bila engkau berhasil, maka aku akan memberikan suatu imbalan yang tak pernah kau bayangkan sebelumnya." Sang dukun menuruti perintah sang ratu. Pada malam harinya, tubuh Kadita telah dipenuhi dengan kudis dan gatal-gatal. Ketika dia terbangun, dia menyadari tubuhnya berbau busuk dan dipenuhi dengan bisul. Puteri yang cantik itu pun menangis dan tak tahu harus berbuat apa.

Ketika Raja mendengar kabar itu, beliau menjadi sangat sedih dan mengundang banyak tabib untuk menyembuhkan penyakit putrinya. Beliau sadar bahwa penyakit putrinya itu tidak wajar, seseorang pasti telah mengutuk atau mengguna-gunainya. Masalah pun menjadi semakin rumit ketika Ratu Dewi Mutiara memaksanya untuk mengusir puterinya. "Puterimu akan mendatangkan kesialan bagi seluruh negeri," kata Dewi Mutiara. Karena Raja tidak menginginkan puterinya menjadi gunjingan di seluruh negeri, akhirnya beliau terpaksa menyetujui usul Ratu Mutiara untuk mengirim putrinya ke luar dari negeri itu.

Puteri yang malang itu pun pergi sendirian, tanpa tahu kemana harus pergi. Dia hampir tidak dapat menangis lagi. Dia memang memiliki hati yang mulia. Dia tidak menyimpan dendam kepada ibu tirinya, malahan ia selalu meminta agar Tuhan mendampinginya dalam menanggung penderitaan..

Hampir tujuh hari dan tujuh malam dia berjalan sampai akhirnya tiba di Samudera Selatan. Dia memandang samudera itu. Airnya bersih dan jernih, tidak seperti samudera lainnya yang airnya biru atau hijau. Dia melompat ke dalam air dan berenang. Tiba-tiba, ketika air Samudera Selatan itu menyentuh kulitnya, mukjizat terjadi. Bisulnya lenyap dan tak ada tanda-tanda bahwa dia pernah kudisan atau gatal-gatal. Malahan, dia menjadi lebih cantik daripada sebelumnya. Bukan hanya itu, kini dia memiliki kuasa untuk memerintah seisi Samudera Selatan. Kini ia menjadi seorang peri yang disebut Nyi Roro Kidul atau Ratu Pantai Samudera Selatan yang hidup selamanya.