Bisnis Toko Online 468x60

Sunday, January 17, 2016

Aji Saka Dan Asal Muasal Aksara Jawa


Tersebutlah seorang pemuda sakti yang tinggal di desa Medang Kawit. Aji Saka namanya. Ia mempunyai dua pembantu yang sangat setia. Dora dan Sembada nama keduanya.

Suatu hari Aji Saka berniat ke wilayah Medang Kamulan. Ia mendengar perilaku Raja Medang Kamulan yang bernama Prabu Dewata Cengkar yang sangat jahat. Prabu Dewata Cengkar gemar memangsa manusia. Setiap hari ia harus makan daging manusia. Patih Medang Kamulan yang bernama Jugul Muda harus sibuk mencari manusia untuk dipersembahkan kepada rajanya yang sangat kejam itu. Rakyat Medang Kamulan sangat ketakutan dan mereka memilih untuk mengungsi dari Medang Kamulan dibandingkan harus menjadi santapan Prabu Dewata Cengkar. Aji Saka berniat menghentikan kekejaman penguasa kerajaan Medang Kamulan yang gemar memakan manusia itu untuk selama-Iamanya.

Dalam perjalanan menuju kerajaan Medang Kamulan, Aji Saka dan dua pembantunya tiba di daerah pegunungan Kendeng. Aji Saka meminta Sembada untuk tinggal di daerah itu dan menyerahkan keris saktinya. Katanya, “Kutitipkan keris sakti pusakaku ini kepadamu. Sekali-kali jangan engkau serahkan keris sakti pusakaku ini kepada siapa pun kecuali hanya kepadaku saja! Aku sendiri yang akan datang mengambil keris pusakaku ini.” Sembada mengiyakan pesan Aji Saka.

Aji Saka bersama Dora melanjutkan perjalanan. Di sebuah tempat, Aji Saka meminta Dora untuk tinggal karena ia akan ke kerajaan Medang Kamulan seorang diri.

Syandan, Aji Saka bertemu dengan Patih Jugul Muda yang tampak kebingungan karena tidak mendapatkan seorang manusia pun yang dapat dipersembahkan untuk Prabu Dewata Cengkar. “Jika itu yang menjadi kebingunganmu, serahkan aku kepada rajamu, wahai Patih Jugul Muda,” kata Aji Saka.

Patih Jugul Muda sangat keheranan mendengar ucapan Aji Saka. Jika orang lain akan lari terbirit-birit jika hendak dijadikan korban guna memuaskan nafsu Prabu Dewata Cengkar itu, Aji Saka malah menawarkan dirinya!

Patih Jugul Muda lantas membawa Aji Saka ke istana kerajaan Medang Kamulan. Berbeda dengan orang-orang lainnya yang sangat ketakutan ketika dihadapkan pada Prabu Dewata Cengkar, Aji Saka tampak tenang. Sama sekali ia tidak menunjukkan ketakutan. Katanya di hadapan Raja Medang Kamulan yang sangat kejam itu, “Sebelum hamba Paduka makan, perkenankan hamba mengajukan satu syarat terlebih dahulu.”

“Syarat?” Prabu Dewata Cengkar melototkan kedua bola matanya, “Syarat apa yang engkau kehendaki?”

“Hamba meminta imbalan tanah seluas surban yang hamba kenakan ini,” jawab Aji Saka.

Tak terkirakan gembiranya hati Prabu Dewata Cengkar mendengar syarat yang diajukan Aji Saka. Syarat yang sangat mudah menurutnya. Hanya dengan memberikan imbalan tanah seluas surban yang dikenakan Aji Saka ia telah dapat memangsa Aji Saka. Maka katanya kemudian dengan wajah berseri-seri, “Aku akan penuhi permintaanmu! Lekas engkau buka surbanmu itu dan gelarlah. Aku telah sangat lapar!”

Aji Saka membuka surbannya dan mulai menggelarnya. Sangat mengherankan, surban itu ternyata sangat panjang. Surban seolah-olah tidak putus-putusnya digelar hingga wilayah Kerajaan Medang Kamulan pun kurang panjang. Surban bagai terus memanjang hingga membentang dari istana kerajaan menjangkau wilayah gunung, sungai, hutan, dan bahkan hingga ke Iembah- lembah. Semua tidak menyangka jika surban yang dikenakan Aji Saka itu begitu panjang lagi luas. Begitu pula dengan Prabu Dewata Cengkar tidak menyangkanya.

Sesuai perjanjian yang telah disepakati Prabu Dewata Cengkar yang akan menyerahkan tanah seluas surban yang dikenakan Aji Saka, itu berarti wilayah kekuasaan Prabu Dewata Cengkar diserahkan kepada Aji Saka. Prabu Dewata Cengkar pun sangat murka. Ia langsung menangkap Aji Saka untuk dimangsanya. Namun, Aji Saka bukan pemuda sembarangan. Ia bisa menghindari serangan tiba-tiba Prabu Dewata Cengkar itu. Sebaliknya, Prabu Dewata Cengkar tidak berdaya ketika terlilit surban Aji Saka. Meski telah meronta-ronta sekuat tenaga, Prabu Dewata Cengkar tidak dapat melepaskan diri dari lilitan surban. Semakin keras ia berusaha melepaskan diri, semakin kuat ia terbelit surban Aji Saka. Dengan kesaktiannya, Aji Saka mampu melemparkan tubuh Prabu Dewata Cengkar ke Laut Selatan. Seketika itu Raja Medang Kamulan yang gemar memakan daging manusia itu menemui kematiannya.

Tak terkirakan kegembiraan rakyat Medang Kamulan setelah mendengar kematian Prabu Dewata Cengkar. Berbondong-bondong mereka kembali ke desa mereka masing-masing. Segenap rakyat pun akhirnya sepakat menunjuk Aji Saka sebagai pemimpin mereka. Maka, Aji Saka lantas bertakhta sebagai Raja Medang Kamulan menggantikan Prabu Dewata Cengkar. Kian gembira dan berbahagia rakyat Medang Kamulan mendapati Aji Saka memerintah dengan adil dan bijaksana.

Pada suatu hari Aji Saka teringat pada keris sakti pusakanya yang masih ditinggalkannya di pegunungan Kendeng yang dijaga Sembada. Ia lantas memerintahkan Dora untuk mengambil keris pusakanya itu.

Berangkatlah Doa memenuhi perintah Aji Saka. Bertemulah ia dengan sahabat dekatnya yang masih tetap setia berada di pegunungan Kendeng. Setelah berbincang-bincang melepas kerinduan, Dora menyatakan maksud kedatangannya. “Aku diutus junjungan kita untuk mengambil keris pusaka yang dititipkannya kepadamu.”

Sembada sama sekali tidak curiga mendengar ucapan Dora. Namun, ia tidak bisa menyerahkan keris pusaka milik Aji Saka itu kepada sahabat dekatnya itu. “Untuk engkau ketahui wahai Dora sahabatku, junjungan kita pernah berpesan kepadaku untuk tidak sekali-kali menyerahkan keris pusaka itu kepada siapa pun juga! Aku dipesannya untuk hanya menyerahkan keris pusaka itu kepadanya saja. Junjungan kita itu juga telah berjanji kepadaku untuk mengambiL keris pusakanya sendiri.”

“Sembada sahabatku, apakah engkau mencurigai aku? Demi Sang Hyang Dewata Agung, aku sungguh-sungguh menjalankan perintah junjungan kita!” ujar Dora untuk meyakinkan.

Namun, tetap juga Sembada tidak berkenan memberikan keris pusaka milik Aji Saka itu. Ia tetap bersikeras hanya akan menyerahkan keris pusaka itu kepada Aji Saka sesuai amanat yang diterimanya. Sementara Dora juga tetap bersikeras untuk meminta keris pusaka Aji Saka sesuai perintah yang diterimanya. Keduanya saling bersikeras hingga akhirnya terjadilah perselisihan di antara mereka. Perselisihan itu terus meruncing hingga akhirnya terjadilah pertarungan di antara dua sahabat dekat itu.

Syandan Aji Saka terus menunggu di istana Kerajaan Medang Kamulan. Benar-benar heran ia karena Dora yang diutusnya belum juga kembali. Menurutnya, Dora seharusnya telah kembali. Karena keheranan dan penasarannya, Aji Saka pun bergegas menuju pegunungan Kendeng.

Tak terkirakan terperanjatnya Aji Saka ketika tiba di pegunungan Kendeng. Ia mendapati dua pembantu setianya itu telah tewas karena pusaka masing-masing. Mengertilah Aji Saka jika kedua pembantu setianya itu telah bertarung demi menjaga amanat yang diberikannya. Sembada akan mati-matian menjaga amanatnya untuk tidak memberikan keris pusaka titipannya kepada siapa pun selain kepada dirinya sendiri, sementara Dora akan mati-matian pula meminta keris pusaka itu sesuai perintahnya.

Aji Saka sangat merasa bersalah atas tewasnya dua pembantu setianya itu. Benar- benar ia terharu dan memberikan penghormatan yang besar terhadap Sembada dan Dora yang begitu setia kepadanya. Keduanya rela mati demi menjaga amanat dan perintah yang mereka emban. Sebagai wujud penghormatannya atas kesetiaan dua pembantunya, Aji Saka lantas menuliskan huruf-huruf di atas batu. Bunyi tulisan itu adalah:



ha na ca ra ka 
da ta sa wa la
pa dha ja ya nya 
ma ga ba tha nga

(Makna tulisan itu adalah Ada utusan, (utusan itu) saling bertengkar, (keduanya) sama-sama sakti, (keduanya pun) mati bersama.)

Tulisan Aji Saka itu kemudian dikenal dengan nama Carakan dan menjadi asal mula huruf Jawa yang hingga kini masih juga menjadi tulisan dan juga bacaan orang-orang Jawa.


0 comments:

Post a Comment